Mohon tunggu...
Lutfiana Putri Yunanti
Lutfiana Putri Yunanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

hobinya meng halu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teka Teki Pembunuhan Marsinah

11 Desember 2023   00:28 Diperbarui: 11 Desember 2023   00:41 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kasus Marsinah -seorang pekerja yang ditemukan tewas di hutan Wilangan   di   Nganjuk,   Jawa   Timur -sebuah   koalisi   perempuan melakukan demonstrasi di depan istana pada Selasa, 8 Mei. Deklarasi  Universal  Hak  Asasi  Manusia  tahun  1948  menekankan  tigahal yang sangat penting untukmenjamin kebebasanberekspresi: bahwa kebebasan  berpendapat  dan  berekspresi  adalah  milik  semua manusia tanpa  pengecualian;  bahwa  semua  orang  memiliki  hak  untukmencari, menerima,  dan  memberikan  informasi  dan  gagasan;  dan  bahwa  arus informasi dan gagasaninformasi dan gagasan tidak boleh dibatasi oleh batas-batas  (nasional)(DUHAM,  Pasal  19).  Sebagai  prinsip  umum, negara    harus    memastikan    bahwaperundang-undangan    nasional mendukung dan menjamin kebebasan berekspresi.

Perumusan    dan    implementasi    legislasi    nasional    adalah selalu diinformasikan oleh moralitas politik yang berlaku, yang pada gilirannyayang  pada  gilirannya  mencerminkan  tradisi  budaya.  Oleh  karena  itu, perlu untuk melihat lebih jauh dari sekedar kesesuaian legislasi nasional Indonesia denganstandar-standar hak asasi manusia internasional. Hal ini  dapat  dilakukan  dengan  mengeksplorasibagaimana  tradisi  budaya lokal beresonansi dengan prinsip-prinsip ini. Banyak dariliteratur "nilai-nilai Asia" berfokus pada bagaimana tradisi agama telahtelah digunakan untuk  menolak  kebebasan  berekspresi.  Akan  tetapi,  sama  mudahnya,untuk merinci fitur-fitur dalam budaya Indonesia yang mendukung sikap positif terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional.Sejumlah  ahli  etnografi  telah  menganalisis  mekanisme  penyelesaian sengketa  lokalmekanisme  penyelesaian  sengketa  lokal  di  masyarakat Indonesia.

Menurut penelitian merek,,mekanisme ini menekankan hak semua individu yang terlibat untukdidengar oleh pertemuan masyarakat yang  berwenang  untuk  memutuskan  sengketa(Acciaioli  2002;  Keeler 1990; Tsing 1990; Avonius 2004).Semua orang yang terlibat juga harus bertanggung jawab -dan dihukum jikaterbukti bersalah. Seperti yang dinyatakan Tsing (1990: 105) dalam uraiannya  tentangPenyelesaian  sengketa  Meratus,  "siapa  saja  boleh  hadir, siapa saja boleh berbicara."Secara umum, pertemuan masyarakat dan  mekanisme  penyelesaian  sengketa  seperti  itu  tampaknya  selaras dengan prinsip globalkebebasan berekspresi.Kita   dapat   menggambarkan   pertemuan-pertemuan   masyarakat   ini sebagai forumdi mana moralitas politik lokal dibangun dan dipelihara dalamkomunikasi  tatap  muka  di  antara  anggota  masyarakat.  

Banyak darimekanisme penyelesaian sengketa lokal ini menjadi kurang penting sejak  masa  penjajahan  Belanda  dan  khususnya  di  bawahOrde  Baru (1965-1998) yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan nasional yang  terpadu.  Pertemuan-pertemuan  di  antara  anggota  masyarakatdigantikan oleh pengadilan di mana hakim-hakim profesional membuat keputusan   berdasarkankeputusan   berdasarkan   buku-buku   hukum. Namun   demikian,   pertemuan   masyarakat   terus   digunakan   untuk menyelesaikan   perselisihan   yang   lebih   kecil;   pada   kenyataannya, Desentralisasi  kekuasaan  sejak  tahun 1998  telah  mendorong  revitalisasi  mekanisme  penyelesaian  sengketa lokal di banyak daerah.

KESIMPULAN

Kasus marsinah adalah salah satu contoh nyata pelanggaran HAM berat. Hak marsinah untuk hidup, kebebasan dari perlakuan tidak manusiawi dilanggar secara brutal. Kejadian ini menunjukan bahwa sila ke 2 pancasila yang menurutnya setiap orang berak dilanggar.


Ketidakadilan dalam sistem peradilan, kasus Marsinah juga mengungkap ketidakadilan dalam sistem peradilan. Terlepas dari bukti kuat dan pengakuan tersangka, korban tidak mendapatkan keadilan di persidangan. Hal ini menggarisbawahi perlunya reformasi sistem hukum untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran hak asasi manusia ditangani secara adil dan menyeluruh, karena hal ini tampaknya bertentangan dengan sila kelima Pancasila, yang menyatakan bahwa keadilan sosial berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. 

Ketimpangan Sosial dan Perlindungan Buruh: Kasus Marsinah mencerminkan ketimpangan sosial yang masih terjadi dalam perlindungan hak-hak buruh di Indonesia. Kondisi buruh yang genting dan perlakuan yang tidak adil menunjukkan bahwa perlindungan hukum, hak dan kesejahteraan buruh harus ditingkatkan. Kasus Marsinah juga menggambarkan pentingnya berjuang dan membela keadilan. Solidaritas dan perjuangan berbagai pihak turut menciptakan ruang diskusi HAM dan mendorong perubahan yang lebih baik dalam perlindungan HAM di Indonesia. Kasus Marsinah menjadi pengingat penting bahwa diperlukan upaya berkelanjutan untuk keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan peningkatan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Diharapkan dengan mempertimbangkan kasus-kasus tersebut, langkah-langkah konkrit dapat diambil untuk mencegah pelanggaran HAM di masa mendatang dan memberikan keadilan bagi para korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun