Jiwaku dan jari jemariku pernah nyaman juga menari nari di atas kertas putih yang kosong. Aku merasakan keindahan ketika menulis puisi, tapi gejolak tak henti menghampiriku kala itu di tahun 2010-2011.
Aku luput akan hadirnya puisi selama 7 tahun belakangan, bahkan aku sangat membenci diksi diksi bahkan aksara puisi. Aku muak dan kecewa terhadap diri sendiri dan puisi puisi yang kutulis, Â aku ambil kumpulan puisi yang kupunya dan kuputuskan memusnahkan semua puisi yang ada jadi abu yang tak bersisa.
Selama rentang 7 tahun belakangan, aku menepi dalam keadaan yang gersang dan terasing akan indahnya bait bait puisi. Aku tak lagi bercumbu dengan aksara aksara puisi. Aku pernah menjadi pembunuh, pembunuh yang harus mematikan hasratku untuk menulis. Bukan keinginan tapi keterpaksaan.
Aku pelaku pembunuhan yang labil, membunuh karena keegoisan diri yang tak bisa mengendalikan diri dan menerima keadaan. Aku berpikir terlalu dangkal kala itu.
Sampai ada titik aku bertemu dan bercengkerama dengan makhluk Tuhan yang begitu mempesona, sebenarnya keadaan ini membuatku bingung dan tegang. Ah, kenapa aku harus tegang juga bingung?
Pada awalnya aku hanya tertantang meladeni pria ini, Â saat dia bicara kata kata manis dan indah dari bibirnya, spontan aku mengucapkan balasan kata kata yang indah juga dari bibirku. Kami beberapa menit bertukar kata dan bait bait puisi yang indah.
Seketika aku lupa bahwa aku membenci puisi karena kehadiran pria ini, pria ini menggetarkan hatiku akan indahnya bait puisi, dan akhirnya kami ngobrol beberapa waktu dan bertukar nomor telepon dan whatsapp. Berjalannya waktu aku bercerita tentang kisahku yang meninggalkan dan membenci puisi, akhirnya pria itu menenangkanku juga beri banyak masukkan padaku, bahwa puisi yang pernah kutulis tak pernah salah. Â Yang salah adalah diriku sendiri yang salah tak bisa mengontrol diri.
Seminggu aku dan pria itu berkenalan, Â tiba tiba pria itu mengirimiku puisi yang ia tulis tanpa pernah di publikasikan. Ia mengatakan ia sengaja mengirimiku puisinya itu, biar aku kembali menulis puisi. Dan ia menantangku harus membalas kirim dia puisi dalam beberapa hari.
Tadinya aku kesal juga bete, kan aku tidak minta di kirimin puisi tapi karena aku tidak mau di remehkan, aku katakan ia pada pria itu. Dan pria itu katakan, Nah begitulah kehidupan. Harus berjuang dan jangan terbelenggu dalam lara kebencian.
Nah, Â aku lupa memberikan informasi tentang siapa pria itu?
Pria itu seorang yang tertutup sebenarnya dan ia menyebut dirinya dengan nick name "dejavu aries" tentu aku tahu dengan seutuhnya nama dan keberadaan dirinya, tapi pria yang membuatku luluh dan memudarkan kebencian akan menulis puisi tak ingin di ketahui khalayak umum tentang dirinya.
Apa yang harus aku lakukan?
Aku tak ingin di kalahkan, tiga hari berikutnya aku berhasil mengiriminya puisi. Dan butuh waktu cukup lama pria itu membaca pesan whatsappku. Setelah menunggu akhirnya pria yang di panggil "dejavu aries" akhirnya membaca dan merespon pesan whatsappku. Puisi yang pertama kali ku tulis berjudul "siulan awal pertemuan".
Kenapa itu yang ku tulis?
Karena ketika aku bersiul, dia mendengar dan spontan mengantakan cewek kok bersiul? Lah, aku ketus menjawab, adakah larangan cewek tidak boleh bersiul. Dan si dejavu aries terdiam, tapi sebenarnya aku sering mendengar orang mengatakan bahwa cewek tidak baik bersiul. Entah karena mitos, entah karena ketidaksopanan.Â
Aku pun tak tahu, tapi aku belum menerima itu sepenuhnya. Karena aku suka bersiul dan aku menikmati siulanku. Â Itu juga alasan aku bisa bertemu dengan si dejavu aries, karena siulan.
Dan tentang puisi pertamaku, Â siulan awal pertemuan. Dia banyak mengkoreksi, beri masukkan dan dia bilang wajar saja karena sudah cukup lama aku melupakan puisi. Dia jadi pertemuan yang baik dan menyenangkan bagiku. Yang pasti, sampai saat ini setelah 3 bulan berlalu sejak pertemuan kami, puisi pertamaku tentang "siulan awal pertemuan" belum ku publish ke media sosial manapun, Â entah apa yang membuatku terkesan orang lain tidak harus tahu tentang puisi itu.
Puisi yang pertama kali ku publish ke akun media sosial adalah tentang kehadiran nya, kehadiran si dejavu aries dan aku beri judul "Senin, 01 Oktober 2018" tapi pria itu tidak pernah tahu tentang puisi itu.
Ceritaku dengannya sebenarnya cukup membuat aku sempat dilema, setelah pria itu dan aku berkomunikasi selama sebulan dan pria itu memberikan aku puisi dengan judul namaku "Lusy", dan itu kali pertama ada yang memberikan aku puisi. Hal itu juga membuatku merasa bahagia juga istimewa ketika itu.
Kemudian, di pembicaraan chatting kami dia mengatakan akan pergi ke luar kota di pulau Jawa karena urusan pekerjaan. Nelangsa menyergap hatiku, karena aku sadar dia tak ada waktu lagi untuk berbagi denganku. Tapi aku juga sadar, dia harus memprioritaskan pekerjaannya. Akhirnya tiba saatnya si dejavu aries pergi, Â dan otomatis kami sudah jarang berkomunikasi.
Tapi, aku terus belajar menulis puisi. Hanya ada 7 puisi yang tercipta melalui pertemuan dan komunikasi kami. Karena perihal dirinya, aku sudah berhenti. Tak lagi ada gairah menulis tentang dia. Pria itu tanpa pemberitahuan dan penjelasan pergi menjauh, enggan bicara lagi denganku.
Aku bisa apa?
Aku hanya pasrah dan menerima keadaan. Dan pria itu hanya katakan maaf padaku di pesan whatsappku. Selepas itu aku berkali kali bertanya ada apa dan mengapa?, tapi tetap aku di abaikan. Dan aku memilih menyerah untuk berkomunikasi lagi dengannya. Otomatis kisah perjalananku dan dia sudah patah dan sudah berakhir.
Aku sempat marah dan kecewa. Bertanya kenapa harus hadir kalau pergi dan menjauh?
Aku berdiam diri beberapa waktu, bahkan aku rehat dari menulis puisi. Akhirnya aku sadar dan berdamai dengan diriku dan dengan waktuku, aku berpikir dan menerima bahwa si dejavu aries  hadir hanya sebagai persinggahan yang diijinkan Tuhan mengingatkanku untuk kembali menulis puisi.
Bagaimanapun aku bersyukur atas kehadirannya, melalui kehadirannya aku kembali boleh menulis bahkan akhir Desember 2018 aku sudah boleh menerbitkan buku puisi ku sendiri.
Melalui persinggahan pria itu aku juga boleh menikmati waktuku melalui puisi-puisi yang kutulis, karena apapun yang kurasakan dan kupikirkan itu dapat dituangkan melalui tulisan.
Aku juga sudah mengikuti beberapa lomba puisi, dan sejauh ini per Januari 2019 sudah ada 6 puisi yang lolos seleksi dan dibukukan penerbit. Dan aku akan terus menulis dan berkarya melalui puisi-puisi ku. Dan aku kembali menulis setelah 7 tahun.
Kisahku kembali menulis setelah 7 tahun, itu semua tidak lepas dari kehadiran si dejavu aries.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H