Tulisan “Gelar Doktor Walikota Manado Bohong?” ternyata menjadi perbincangan serius, dan mendapat tanggapan luas di Manado. Tulisan tersebut langsung menjadi perhatian ribuan pengguna media sosial, termasuk grup-grup pengguna yang terkait dengan pertarungan di Pilkada.
Sejumlah akun tak resmi maupun resmi pendukung Walikota Vicky Lumentut pun langsung membuat bantahan dan jawaban. Akun bernama Vanny Wayongkere, yang baru dibuat tanggal 19 Oktober, atau sehari setelah tulisan muncul di kompasiana, beberapa kali membuat tanggapan dan menanggapi tanggapan yang muncul di bawah tulisan.
Intinya, Vanny Wayongkere menjelaskan gelar Doktor maupun DEA yang disandang Walikota Vicky Lumentut benar dan sah adanya. Bisa dilihat di berbagai link, baik di Prancis maupun di badan akreditasi nasional (http://ijazahln.dikti.go.id/dalam_proses.php). Nama yang tercantum, tulis Vanny, memang bukan Vicky Lumentut, tapi Godbless Sofcar Lumentut. Akreditasi sudah diperoleh pada 28 Oktober 2010 dengan nomor SK 2143.
Masih dari keterangan Vanny, untuk meraih PhD/Doktor-nya Lumentut menulis thesis berjudul Application de l’Intelligence Compétitive au développement d’une stratégie pour un tourisme soutenable pour la Ville de manado, Célèbes du Nord, Indonésie (Application of Competitive Intelligence to sustainable tourism development strategy in Manado City, North Sulawesi, Indonesia). Sumber infonya http://s244543015.onlinehome.fr/ciworldwide/wp-content/uploads/2008/06/thesis_crrm.pdf
Meskipun ini masalah personal Vicky Lumentut, Humas Pemkot Manado juga ikut sibuk menjawab baik lewat media sosial maupun rilis ke media lokal. Laman berita lokal www.beritakawanua.com menulis gelar doktor walikota manado jelas tanggal dan diperoleh dari mana. Juga sudah terakreditasi: http://beritakawanua.com/berita/pendidikan/ijazah-doktor-wali-kota-manado-7-januari-2010-dari-universitas-di-prancis#sthash.D0BqgajQ.mpNG6XIg.dpbs
Dari berbagai respon yang muncul di medsos dan jawaban resmi humas Pemkot, Vicky Lumentut kemungkinan memang tidak perlu susah-susah ke Marseille atau Proven meraih PhD dan sebelumnya gelar DEA yang disandangnya.
Akun bernama “Joko P” di kompasiana menjelaskan, kehadiran Universite Aix Marseille di Manado dan Sulut ternyata berawal tahun 2000-an. “Philo Tuerah merintis perjanjian U2U (antar universitas) antara Unima dan Universite Aix Marseille (Prof Henri Dou) untuk mengadakan pendidikan S2 (DEA) di Unima,” tulis Joko P. Dengan kerjasama ini, mahasiswa cukup kuliah di Unima dan dapat langsung gelar DEA, tanpa harus pergi ke Perancis.
“Saya tidak tahu apakah tahun 2008 program ini masih diteruskan dan jika ya apakah juga sampai ke program doctorat S3.. Jika ya ada kemungkinan walikota itu memang membikin thesisnya di Menado (tidak harus ke perancis),” papar Joko P.
Competitive Intelligence, Apa Itu?
Meski disebut gelar PhD milik Lumentut ini sah adanya, bidang studi, cara mendapatkan gelar, dan cara Lumentut membanggakan deretan gelar, tetap perlu mendapat catatan.
Seperti disampaikan para pendukungnya, untuk meraih gelar Doktor ini, Lumentut menulis Thesis: Application de l’Intelligence Compétitive au développement d’une stratégie pour un tourisme soutenable pour la Ville de manado, Célèbes du Nord, Indonésie (Application of Competitive Intelligence to sustainable tourism development strategy in Manado City, North Sulawesi, Indonesia).
Ini patut dicatat. Vicky Lumentut meraih gelar doktornya di bidang “competitive intelligence”, dengan thesis tentang “competitive intelligence”.
Dan untuk itu Vicky Lumentut tidak perlu bergulat dengan teori, membaca buku. Tidak perlu pulang pergi ke Marseille atau Proven di Perancis sana. Vicky Lumentut tetap duduk manis sebagai Sekretaris Daerah. Tulis saja apa yang sudah dilakukan-nya sebagai pejabat. Sebut saja istilah “competitive intelligence” beberapa kali. Maka, jadilah Vicky Lumentut seorang doktor. Cerdas.
Lalu, apa sebenarnya “competitive intelligence” dan layakkah praktek ini menyandang gelar PhD/Doktor?
Mari bertanya ke Wikipidia (https://en.wikipedia.org/wiki/Competitive_intelligence). Apa itu competitive intellingence. Ini jawabnya: Competitive intelligence is the action of defining, gathering, analyzing, and distributing intelligence about products, customers, competitors, and any aspect of the environment needed to support executives and managers making strategic decisions for an organization. Competitive Intelligence adalah proses menentukan, mengumpulkan, menganalisis, menyebarkan “informasi intelijen/mata-mata” tentang produk, pelanggan yang dimiliki pesaing. Competitive Intelligence atau CI, menurut wikipidia, biasa juga disebut “analisis kompetitor”.
Majalah bisnis internasional Fortune pernah muat tulisan menarik yang menjelaskan secara ringkas keterkaitan Competitive Intelligence dengan dunia bisnis. Judulnya langsung menohok: “How The Biz World Took a Page from the CIA (http://fortune.com/2012/12/20/how-the-biz-world-took-a-page-from-the-cia/)
Artikel itu menulis, Competitif Intelligence (CI) adalah profesi yang tengah naik daun ketika persaingan di dunia bisnis semakin ketat. Di tulisan ini, dunia dan profesi CI memang identik dengan dunia spionase ala CIA. Bahkan, asal mula praktek CI di dunia bisnis ini memang terkait dengan CIA. Jan Herring, Direktur Intelijen di Motorola pada 1980-an yang disebut dalam artikel ini, adalah mantan intel CIA.
Penelusuran apa itu Competitive Intelligence di bidang akademik di Sulawesi Utara dan Manado, ternyata juga membawa kita ke dunia “intelijen ekonomi” ini. Cek saja link dan nama ini: http://competitive-intelligence.asia/ci/index.php/our-services/the-experts/18-sri-damayanty-manullang.
Ada nama Sri Damayanty Mannullang. Gelarnya Dr dan HDR. HDR adalah Habilitation à Diriger des Recherches HDR”, sertifikat lain lagi yang diperoleh setelah Doktor di bidang Competitive Intelligence ini. Dengan gelar HDR ini menunjukkan seseorang punya kapasitas untuk kerjasama dengan lembaga pemberi gelar di Prancis untuk menggelar program yang sama di Indonesia.
Yang menarik, nama-nama yang terlibat memberi gelar “HDR” pada Sri Damayanti Manullang memang terkait dengan dunia intelijen ekonomi. Ada nama Philippe Clerc (Direktur of Competitive Intelligence in the AFCI Assemblee of the French Chambers of Commerce and Industry for all the France, KADIN-nya Prancis). Lalu Luc Quoniam (University Professor, sebelumnya Atase di Brazil dan Direktur Perusahaan Cendotec). Lalu juga nama Alain Juillet, mantan penasehat PM Prancis di bidang intelijen ekonomi.
Karena keterkaitannya dengan dunia intelijen atau spionase ini, profesi Competitive Intelligence atau CI di dunia selalu dikaitkan dengan pertanyaan: etis atau tidak, legal atau illegal.
Pertanyaan berikut: dengan mudahnya memberi gelar DEA dan PhD di bidang ini di berbagai negara, adakah kepentingan dunia intelijen ekonomi Perancis?
Dan pertanyaan lanjutnya, sebagai praktek bisnis, apakah Competitive Intelligence layak diganjar sebuah gelar mentereng PhD atau Doktor? Untuk pertanyaan terakhir ini, mungkin para Profesor dan Doktor yang benar-benar bekerja serius di bidang akademik di Universitas Indonesia, ITB, UGM, bisa menjelaskan: kenapa kampus-kampus ternama kita tidak ada program PhD/Doktor di bidang Competitive Intelligence ini.
Pejabat Gila Gelar
Kita sudah mendapat penjelasan soal asal muasal gelar Doktor Walikota Manado Vicky Lumentut. Bahwa gelar itu benar adanya. Bahwa gelar itu sudah terakreditasi juga. Dan kita juga sudah tahu, bahwa Vicky Lumentut memang tidak perlu susah-susah pulang pergi ke Prancis, menghabiskan waktu siang malam di perpustakaan, dan berkeringat melakukan riset di lapangan bertahun-tahun untuk meyakinkan para professor di ujian promosi. Karena tesis doktor Vicky Lumentut di bidang Competitive Intelligence ini adalah soal penggunaan Competitive Intelligence di bidang turisme berkelanjutan (sustainable tourism) di Manado. Mudah, dan cerdas.
So What? Masalahnya, Walikota yang sekarang sedang ngotot maju lagi untuk termin kedua ini dengan bangga menjual PhD --yang notabene diperoleh dengan mudah—berjejer dengan 4 gelar lain di jalanan kota Manado. Sekali lagi ini nama lengkap dan rentetan gelar yang terpampang di billboard pinggir jalan kota Manado: Dr. Ir. G. J. V. Lumentut SH, MSi, DEA.
Seorang anggota milis [AlumniPerancis] bernama Djoehana Wiradikarta menulis, DEA DEA (Diplôme d'Études Approfondies) juga bukan gelar tapi ijazah tingkat bac + 5 (yang sekarang disebut "master de recherche").
“Saya tidak akan berkomentar tentang praktek di Indonesia,” tulisnya.
“Kalau berhadapan dengan orang Perancis, jangan menyandang gelar,” tambahan Djoehana. Karena di Prancis, gelar tidak dipasang. Biasanya, orang yang memasang gelar, misalnya di kartu namanya, bisa-bisa kurang dianggap.
Menyandang gelar, tulis Djoehana, bukan sesuatu yang diterima di Prancis. Orang yang berpendidikan, berpengetahuan dan cerdas akan dengan sendirinya diketahui pendidikan, pengetahuan dan kecerdasannya. “Tidak perlu diumumkan dengan gelar,” tandasnya.
Contoh Presiden Jokowi
Fenomena gila titel ala walikota Manado ini kontras dengan apa yang ditunjukkan presiden pilihan mayoritas rakyat Indonesia, Presiden Jokowi. Sarjana Kehutanan dari UGM ini jelas punya titel Insinur (Ir), tapi dia tidak merasa perlu menggunakan titel di belakang namanya. Jokowi, cukup.
Dari link ini, kita juga baru tahu, kalau ternyata –kalau mau—Jokowi juga bisa menggunakan titel Doktor di belakang namanya (http://www.kompasiana.com/gedeadipranata/tau-diri-jokowi-menolak-gelar-doktor_551f6d338133112e0d9df1ad). Universitas Muhammadiyah Solo sudah berniat memberi gelar Dr Honoris Causa kepada Jokowi atas kesuksesannya mengelola kota Solo dan Jakarta.
Tapi, Jokowi menolak. "Buat saya berat itu. Saya ini orang bodoh kayak gini. Berat lho, jangan sampai kita mendapatkan sesuatu yang sebenarnya kita belum layak. Saya pikir-pikir dulu, ini berat," ujar Jokowi kepada wartawan, usai berorasi di UMS Solo.
Jokowi mungkin jadi pejabat pertama di negeri ini yang menolak gelar Doktor Honoris Causa. Karena dia tahu, bagi seorang pemimpin, bekerja sungguh-sungguh, amanah, dekat dan dipercaya rakyat, jauh lebih penting daripada titel berderet. (lusimanado).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H