Dan pertanyaan lanjutnya, sebagai praktek bisnis, apakah Competitive Intelligence layak diganjar sebuah gelar mentereng PhD atau Doktor? Untuk pertanyaan terakhir ini, mungkin para Profesor dan Doktor yang benar-benar bekerja serius di bidang akademik di Universitas Indonesia, ITB, UGM, bisa menjelaskan: kenapa kampus-kampus ternama kita tidak ada program PhD/Doktor di bidang Competitive Intelligence ini.
Pejabat Gila Gelar
Kita sudah mendapat penjelasan soal asal muasal gelar Doktor Walikota Manado Vicky Lumentut. Bahwa gelar itu benar adanya. Bahwa gelar itu sudah terakreditasi juga. Dan kita juga sudah tahu, bahwa Vicky Lumentut memang tidak perlu susah-susah pulang pergi ke Prancis, menghabiskan waktu siang malam di perpustakaan, dan berkeringat melakukan riset di lapangan bertahun-tahun untuk meyakinkan para professor di ujian promosi. Karena tesis doktor Vicky Lumentut di bidang Competitive Intelligence ini adalah soal penggunaan Competitive Intelligence di bidang turisme berkelanjutan (sustainable tourism) di Manado. Mudah, dan cerdas.
So What? Masalahnya, Walikota yang sekarang sedang ngotot maju lagi untuk termin kedua ini dengan bangga menjual PhD --yang notabene diperoleh dengan mudah—berjejer dengan 4 gelar lain di jalanan kota Manado. Sekali lagi ini nama lengkap dan rentetan gelar yang terpampang di billboard pinggir jalan kota Manado: Dr. Ir. G. J. V. Lumentut SH, MSi, DEA.
Seorang anggota milis [AlumniPerancis] bernama Djoehana Wiradikarta menulis, DEA DEA (Diplôme d'Études Approfondies) juga bukan gelar tapi ijazah tingkat bac + 5 (yang sekarang disebut "master de recherche").
“Saya tidak akan berkomentar tentang praktek di Indonesia,” tulisnya.
“Kalau berhadapan dengan orang Perancis, jangan menyandang gelar,” tambahan Djoehana. Karena di Prancis, gelar tidak dipasang. Biasanya, orang yang memasang gelar, misalnya di kartu namanya, bisa-bisa kurang dianggap.
Menyandang gelar, tulis Djoehana, bukan sesuatu yang diterima di Prancis. Orang yang berpendidikan, berpengetahuan dan cerdas akan dengan sendirinya diketahui pendidikan, pengetahuan dan kecerdasannya. “Tidak perlu diumumkan dengan gelar,” tandasnya.
Contoh Presiden Jokowi
Fenomena gila titel ala walikota Manado ini kontras dengan apa yang ditunjukkan presiden pilihan mayoritas rakyat Indonesia, Presiden Jokowi. Sarjana Kehutanan dari UGM ini jelas punya titel Insinur (Ir), tapi dia tidak merasa perlu menggunakan titel di belakang namanya. Jokowi, cukup.
Dari link ini, kita juga baru tahu, kalau ternyata –kalau mau—Jokowi juga bisa menggunakan titel Doktor di belakang namanya (http://www.kompasiana.com/gedeadipranata/tau-diri-jokowi-menolak-gelar-doktor_551f6d338133112e0d9df1ad). Universitas Muhammadiyah Solo sudah berniat memberi gelar Dr Honoris Causa kepada Jokowi atas kesuksesannya mengelola kota Solo dan Jakarta.