Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Memutus Rantai Kekerasan di Dunia Kerja: Penyebab dan Solusinya

19 Oktober 2024   11:31 Diperbarui: 19 Oktober 2024   12:32 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
contoh kekerasan di dunia kerja-karyawan perempuan disalahkan atas kekerasan yang dialaminya-photo by Yan Krukov from pexels

Kekerasan ada dimana-mana. Perundungan tempat kerja adalah lagu lama yang terus diputar ulang tapi penanganannya tidak pernah ada perbaikan.

Kalau posisi kita sebagai korban dan kita speak up masalah ini, kita terancam kehilangan pekerjaan. Kalau posisi kita sebagai saksi mata, paling-paling hanya bisa jadi bystander karena kalau kita ikut speak up, kita juga bisa kena pecat. Serba salah bukan? Pantas saja para pelaku selalu merasa aman karena sistem yang busuk ini selalu melindungi dan berpihak pada mereka.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pernah merilis Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja 2022 yang surveinya mencakup pengalaman responden terkait kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dari sisi korban dan saksi dari tahun 2020-2022. Penelitian ini diikuti oleh total 1.173 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari survei tersebut, diketahui sebanyak 852 responden (70,93%) pernah mengalami setidaknya salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Hal ini seharusnya menjadi alarm bahwa kebanyakan tempat kerja kita belum mampu memberikan ruang aman bagi para pekerja.

Adapun beberapa faktor kerentanan yang berhasil dipetakan oleh survei tersebut, salah satunya adalah identitas gender, dimana pekerja perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Sementara itu, setengah dari responden laki-laki (54,01%) pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.

Survei ini juga memetakan pengalaman pekerja beridentitas gender queer atau non-biner (istilah identitas gender yang tidak merujuk secara spesifik pada salah satu gender, seperti perempuan atau laki-laki), dimana sebanyak 21 dari total 22 responden non-biner (95,45%) mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Selain faktor identitas gender, pekerja dengan disabilitas juga lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan dibandingkan pekerja tanpa disabilitas.

Kekerasan di tempat kerja bisa muncul dalam berbagai bentuk. Bisa berupa kekerasan verbal (hinaan dengan kata-kata kasar), psikologis (perilaku manipulatif, micromanaging, dll), kekerasan fisik (pemukulan, menendang, pengeroyokan dll) bahkan pelecehan dan kekerasan seksual. Intinya, segala hal yang membuat seseorang tidak nyaman, merasa tersakiti atau tertekan di tempat kerja bisa digolongkan sebagai bentuk kekerasan.

Lingkungan dan Budaya Kerja yang Toksik

lingkungan dan budaya kerja toksik membuat pekerja tertekan-photo by Yan Krukov from pexels
lingkungan dan budaya kerja toksik membuat pekerja tertekan-photo by Yan Krukov from pexels

Lingkungan dan budaya kerja berpengaruh besar terhadap keamanan dan kenyamanan kerja karyawan. Lingkungan dan budaya kerja yang toksik berpotensi besar melahirkan dan melanggengkan kultur kekerasan di tempat kerja.

Beban kerja yang tidak manusiawi, kesejahteraan karyawan yang tidak diperhatikan, atasan yang tidak bisa menghargai kinerja karyawan, senioritas adalah penyakit yang umum ditemukan di dunia kerja kita. Belum lagi ditambah dengan karakter buruk, masalah personal dan respon dari masing-masing individu di tempat kerja terhadap suatu masalah atau konflik.

Bayangkan, Anda bekerja di kantor yang lingkungan dan budaya kerjanya toksik. Kemudian Anda punya rekan kerja, senior atau atasan yang narsistik, sedang ada masalah pribadi dengan pasangannya dan sedang dituntut untuk fokus memenuhi target yang tidak realistis dengan deadline super ketat. Kira-kira apa yang Anda rasakan jika berada di lingkungan kerja dengan budaya dan rekan kerja, senior atau atasan yang seperti itu? Kalau saya sih, auto minggat ya.

Hustle Culture

Belum lama ini mencuat kasus Brandoville yang merupakan salah satu contoh konkret kekerasan terhadap pekerja di industri kreatif. Kasus ini ramai diberitakan lantaran munculnya laporan terkait jam kerja yang berlebihan, karyawan tidak diizinkan mengambil cuti dan adanya intimidasi terhadap karyawan.

Para karyawan yang menjadi korban juga melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh istri dari CEO Brandoville Studios, Cherry Lai. Mereka dikabarkan mengalami kekerasan yang mencakup kekerasan ekonomi, psikologis dan fisik, seperti memanipulasi mental karyawan untuk menampar diri sendiri, disuruh naik turun tangga 45 kali, memaksa karyawan untuk kerja lembur melewati batas waktu serta karyawan yang diharuskan menanggung sendiri biaya perjalanan dinas dan peralatan kerja.

Apa yang terjadi pada karyawan Brandoville Studios merupakan salah satu akibat dari maraknya fenomena hustle culture. Hustle culture menciptakan ekspektasi bahwa seseorang harus terus bekerja keras dan mengorbankan segalanya (bahkan termasuk kesehatan fisik dan mental, waktu istirahat, waktu bersama keluarga dll) demi meraih kesuksesan.

Konsep hustle culture inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh atasan untuk mengeksploitasi karyawannya. Para karyawan dipaksa bekerja keras melebihi jam kerja normal dan dipaksa lembur tapi tidak dibayar.

Sayangnya, tidak semua karyawan maupun atasan menyadari bahwa konsep bekerja seperti itu termasuk kekerasan karena masih banyak yang menormalisasi dengan dalih loyalitas dan profesionalisme.

Minimnya Perlindungan Bagi Korban

Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja 2022 yang dirilis ILO juga menunjukkan betapa minimnya jumlah korban yang melaporkan kekerasan yang dialaminya. Dari 832 responden yang menjadi korban, masih minim yang menempuh jalur formal. 

Hal itu dapat dilihat dari jumlah responden yang melaporkan kepada HRD/manajemen Perusahaan (10,94%), lapor ke lembaga masyarakat/komunitas/lembaga bantuan hukum (3,61%), lapor ke lembaga negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan dll) (1,92%) dan lapor ke kepolisian (1,80%).

Sebagian besar (47,72%) korban lebih memilih bercerita ke teman atau keluarga di luar tempat kerja dan sebanyak 42,55% korban hanya bisa diam dan tidak tahu harus berbuat apa.

Mengapa banyak korban yang memilih diam? 

Alasan paling utama adalah karena mereka takut dengan konsekuensi negatif yang akan diterima, seperti pemecatan dan diancam oleh pelaku.

Pada kasus pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja, terutama jika korbannya perempuan, mereka memilih diam karena takut disalahkan. Mereka kerap dianggap sebagai pihak yang memancing pelaku untuk melakukan pelecehan.

Jangankan melapor ke pihak berwajib, korban pun seringkali memiliki trust issue terhadap HRD/manajemen Perusahaan. Fakta ini sekaligus menjadi tamparan untuk para HRD yang lebih melindungi kepentingan atasan ketimbang memposisikan dirinya di tengah-tengah dan bersikap adil. 

Ya, gimana HRD mau adil kalau keputusannya diintervensi dan dipengaruhi oleh pelaku, terlebih kalau pelaku memegang jabatan strategis di Perusahaan.

Apa yang Harus Dilakukan untuk Memutus Rantai Kekerasan di Tempat Kerja?

Kita butuh lebih banyak orang yang berani menghentikan praktik kekerasan yang dinormalisasi dengan bersikap tegas. Menerapkan batasan personal terhadap beban kerja yang berlebih agar tidak burnout bukan berarti tidak loyal dan profesional. Menyuarakan ketidaknyamanan terhadap ucapan atau perilaku kasar rekan kerja bukan berarti lancang.

Kita perlu meningkatkan kesadaran setiap pihak bahwa bekerja melebihi jam kerja normal dan tanggung jawab, lembur tanpa dibayar, dan segala bentuk kekerasan yang dilakukan di tempat kerja bertentangan dengan decent work agenda, suatu konsep bekerja yang menghormati hak-hak dasar manusia serta hak-hak pekerja dalam hal kesempatan kerja yang produktif, sistem pengupahan yang adil, keamanan dan perlindungan di tempat kerja, pengembangan diri dan integrasi sosial, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan kesempatan serta perlakuan bagi pekerja laki-laki maupun perempuan.

Setiap karyawan dan jajaran manajemen perlu diedukasi mengenai keamanan, kesejahteraan dan perlindungan pekerja. Perusahaan juga perlu menyediakan saluran terpercaya untuk pelaporan kasus kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.

Terakhir, pemerintah perlu didesak untuk meratifikasi Konvensi ILO 190 demi menjamin perlindungan bagi setiap orang di dunia kerja agar terbebas dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun