Pada tahun 2022 lalu, Dahlia, warga Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Permohonannya ditolak. Ia bersama beberapa keluarga di kampungnya terpaksa menandatangani perjanjian ganti rugi lahan. Namun, setelah 4 bulan berlalu, uang ganti rugi lahan yang dijanjikan tak kunjung diterima. Tak punya tanah dan bekal pendidikan yang cukup, Dahlia dan anak-anak muda lain di kampungnya terancam tersingkir dari ibu kota baru yang sedang dalam proses pembangunan ini.Â
Ancaman kehilangan ruang hidup dikhawatirkan akan dialami oleh Masyarakat Melayu Pulau Rempang akibat konflik pembangunan Rempang Eco City. Ketegangan memuncak saat aparat gabungan memaksa mengukur tanah yang di atasnya akan dibangun Rempang Eco City yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini dapat memicu eksodus masyarakat dari Pulau Rempang sehingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, di mana masyarakat akan kehilangn mata pencahariannya karena lahan pertanian yang ikut tergusur.Â
Nasib serupa juga terjadi pada kehidupan masyarakat adat Dayak Benawan yang bermukim di hutan di Sanggau, Kalimantan Barat, yang tergusur oleh perkebunan sawit. Sumber penghidupan masyarakat hilang dan daerah mereka tinggal jadi lebih sering diterjang banjir. Banjir berasal dari luapan Sungai Kapuas sedangkan hutan yang rusak tergantikan oleh perkebunan sawit menyebabkan air jadi sulit terserap.
Masih banyak lagi kisah-kisah pilu masyarakat adat di Tanah Air yang ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya dirusak dan digusur oleh pembangunan yang tidak memperhitungkan dampak sosial, budaya dan ekologi. Padahal masyarakat adat telah berkontribusi menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan mewakili 6% populasi dunia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sebanyak lebih dari 20% karbon yang diserap oleh hutan, ada kontribusi masyarakat adat yang senantiasa menjaga kelestarian hutan sehingga hutan dapat menjalankan fungsinya itu.
Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan, kebijakan penanganan krisis iklim belum melibatkan peran masyarakat adat, terutama perempuan. Perempuan adat yang dengan pengetahuan kearifan lokalnya telah menjaga hutan dan lingkungan tempat tinggalnya, belum dipandang dan diposisikan sebagai subjek aktif yang berperan dalam mengatasi masalah krisis iklim. Survei Persekutuan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) menunjukkan sekitar 67,4% perempuan merasa tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi Pembangunan yang berlokasi di wilayah adat mereka.
Akibatnya, penanganan krisis iklim sampai sekarang masih jadi isu yang elitis. Masyarakat adat pun hanya menjadi penonton bahkan korban kebijakan karena aspirasi mereka yang kurang diperhitungkan.
Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga HutanÂ
Masyarakat adat senantiasa memelihara kebiasaan dan menerapkan praktik keberlanjutan yang terbaik dalam menjaga ekosistem alam. Mereka mengelola hutan dengan berlandaskan pada aturan, tradisi maupun nilai-nilai kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun.
Masyarakat Suku Dayak Merap dan Dayak Punan di Kalimantan Timur, memiliki aturan adat yang melarang masyarakatnya untuk berladang dan mengambil sumber daya pokok di tempat tertentu agar hutan tetap lestari. Selain itu, mereka juga dilarang mengambil beberapa binatang dan tumbuhan yang memiliki fungsi khusus seperti larangan menebang pohon menggris karena merupakan sarang lebah atau larangan menebang pohon ulin lantara buahnya yang digemari oleh landak.
Di Hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi, Suku Rimba menjaga hutan dan lingkungan tempat tinggalnya dengan memberlakukan beberapa peraturan, baik bagi masyarakatnya maupun pendatang. Salah satunya adalah larangan menebang pohon keramat. Apabila dilanggar, pelakunya akan dihukum denda dengan kain adat.
Upaya masyarakat adat dalam menjaga ekosistem hutan dan lingkungan tempat tinggalnya juga dilakukan dengan menolak modernitas, sebagaimana yang diterapkan oleh masyarakat Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.Â
Masyarakat Suku Kajang memiliki pedoman hidup yang disebut Pasang Ri Kajang yang diterapkan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Salah satu prinsip kehidupan yang terkandung dalam pedoman ini adalah orientasi untuk menjaga kelestarian hutan adat (tallasa kamase-mase). Prinsip ini mengajarkan pada mereka untuk berperilaku dan menjalankan hidup sederhana, termasuk dalam mengambil hasil hutan.
Krisis Iklim, Pembangunan Linear dan Dampaknya pada Kehidupan Masyarakat AdatÂ
Dari beberapa contoh di atas, kita bisa menilai betapa masyarakat adat memiliki peran krusial dalam menjaga bumi. Ironisnya, narasi pembangunan linear ala Walt Whitman Rostow (1959) memandang masyarakat adat yang hidup secara tradisional sebagai kelompok yang berada di urutan paling belakang dalam pembangunan ekonomi. Pengetahuan mereka dianggap kuno, tertinggal atau sekadar artefak masa lampau. Pandangan ini pula yang nampaknya banyak diadopsi oleh para pembuat kebijakan, korporasi besar, pemilik modal maupun birokrat, dalam membangun proyek-proyek raksasa.
Atas nama investasi, industrialisasi, hilirisasi, modernisasi atau apapun namanya, pembangunan dilakukan tanpa memperhitungkan kondisi, perspektif, pengalaman, kebutuhan dan dampak jangka panjang, baik bagi masyarakat adat maupun lingkungan sekitar.
Ditambah dengan krisis iklim, dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat adat bukan hanya kehilangan ruang hidup dan sumber-sumber mata pencaharian, melainkan juga ketidakadilan gender yang semakin tajam. Meski siapapun bisa dirugikan, perempuan adat rentan menanggung risiko yang lebih berat.
Alam sekitar telah menjadi sumber oksigen, makanan, air bersih, ramuan dan obat-obatan, kebutuhan ritual bahkan sumber pendapatan yang menghidupi masyarakat adat sejak zaman nenek moyang. Jika ekosistemnya rusak, para ibu akan kesulitan memberikan makanan yang sehat bagi anak-anaknya, tidak bisa lagi bertani, berkebun atau memanfaatkan hasil alam untuk membuat sesuatu yang bernilai jual.
Akses pendidikan yang juga belum setara untuk perempuan adat membuat pilihan pekerjaan semakin terbatas. Jika tanah-tanah mereka terampas, beralih fungsi jadi industri dan mereka terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik, mereka rentan diupah lebih rendah daripada buruh laki-laki. Upaya pemiskinan seperti ini juga berisiko membuat perempuan adat terjerat perkawinan anak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Memperjuangkan Kesetaraan Hak
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan masih ada diskriminasi terhadap perempuan adat. Akarnya berasal dari kekerasan struktural. Namun, akar kekerasan terbesar adalah kebijakan pembangunan yang merampas wilayah adat. Hal tersebut secara langsung turut mencerabut ruang hidup perempuan adat yang sekaligus menjadi ruang kuasa mereka. Akibatnya, perempuan adat juga minim akses pendidikan dan kesehatan.
Bahkan Rukka juga menyitir studi United Nations Special Rapporteur untuk masyarakat adat yang menyebut bahwa globalisasi menyebabkan tingkat kemiskinan perempuan adat lebih tinggi dibandingkan perempuan lain.Â
Studi yang sama juga menyebut, globalisasi berdampak pada peningkatan kekerasan domestik terhadap perempuan adat, kekerasan seksual dalam konteks perdagangan perempuan dan konflik bersenjata. Jadilah, perempuan adat mengalami kekerasan dan diskriminasi berlapis.
Memperjuangkan kesetaraan hak masyarakat adat, termasuk perempuan adat, harus dimulai dengan memahami perspektif mereka akan ruang hidupnya. Sebab, bagi masyarakat adat, hutan adalah denyut kehidupan mereka. Jika rusak, mereka tidak punya kehidupan lagi.
Pemenuhan hak dasar, seperti akses pendidikan bagi masyarakat adat pun harus memperhatikan karakteristik dan keunikan nilai-nilai mereka agar tetap relevan dengan tantangan zaman serta kebutuhan mereka. Terlebih, di tengah upaya mengatasi masalah krisis iklim saat ini, masyarakat adat, terutama perempuan adat, harus dilibatkan dan diposisikan sebagai mitra potensial dalam hal konservasi alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H