Di Hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi, Suku Rimba menjaga hutan dan lingkungan tempat tinggalnya dengan memberlakukan beberapa peraturan, baik bagi masyarakatnya maupun pendatang. Salah satunya adalah larangan menebang pohon keramat. Apabila dilanggar, pelakunya akan dihukum denda dengan kain adat.
Upaya masyarakat adat dalam menjaga ekosistem hutan dan lingkungan tempat tinggalnya juga dilakukan dengan menolak modernitas, sebagaimana yang diterapkan oleh masyarakat Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.Â
Masyarakat Suku Kajang memiliki pedoman hidup yang disebut Pasang Ri Kajang yang diterapkan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Salah satu prinsip kehidupan yang terkandung dalam pedoman ini adalah orientasi untuk menjaga kelestarian hutan adat (tallasa kamase-mase). Prinsip ini mengajarkan pada mereka untuk berperilaku dan menjalankan hidup sederhana, termasuk dalam mengambil hasil hutan.
Krisis Iklim, Pembangunan Linear dan Dampaknya pada Kehidupan Masyarakat AdatÂ
Dari beberapa contoh di atas, kita bisa menilai betapa masyarakat adat memiliki peran krusial dalam menjaga bumi. Ironisnya, narasi pembangunan linear ala Walt Whitman Rostow (1959) memandang masyarakat adat yang hidup secara tradisional sebagai kelompok yang berada di urutan paling belakang dalam pembangunan ekonomi. Pengetahuan mereka dianggap kuno, tertinggal atau sekadar artefak masa lampau. Pandangan ini pula yang nampaknya banyak diadopsi oleh para pembuat kebijakan, korporasi besar, pemilik modal maupun birokrat, dalam membangun proyek-proyek raksasa.
Atas nama investasi, industrialisasi, hilirisasi, modernisasi atau apapun namanya, pembangunan dilakukan tanpa memperhitungkan kondisi, perspektif, pengalaman, kebutuhan dan dampak jangka panjang, baik bagi masyarakat adat maupun lingkungan sekitar.
Ditambah dengan krisis iklim, dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat adat bukan hanya kehilangan ruang hidup dan sumber-sumber mata pencaharian, melainkan juga ketidakadilan gender yang semakin tajam. Meski siapapun bisa dirugikan, perempuan adat rentan menanggung risiko yang lebih berat.
Alam sekitar telah menjadi sumber oksigen, makanan, air bersih, ramuan dan obat-obatan, kebutuhan ritual bahkan sumber pendapatan yang menghidupi masyarakat adat sejak zaman nenek moyang. Jika ekosistemnya rusak, para ibu akan kesulitan memberikan makanan yang sehat bagi anak-anaknya, tidak bisa lagi bertani, berkebun atau memanfaatkan hasil alam untuk membuat sesuatu yang bernilai jual.
Akses pendidikan yang juga belum setara untuk perempuan adat membuat pilihan pekerjaan semakin terbatas. Jika tanah-tanah mereka terampas, beralih fungsi jadi industri dan mereka terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik, mereka rentan diupah lebih rendah daripada buruh laki-laki. Upaya pemiskinan seperti ini juga berisiko membuat perempuan adat terjerat perkawinan anak dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Memperjuangkan Kesetaraan Hak
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan masih ada diskriminasi terhadap perempuan adat. Akarnya berasal dari kekerasan struktural. Namun, akar kekerasan terbesar adalah kebijakan pembangunan yang merampas wilayah adat. Hal tersebut secara langsung turut mencerabut ruang hidup perempuan adat yang sekaligus menjadi ruang kuasa mereka. Akibatnya, perempuan adat juga minim akses pendidikan dan kesehatan.