Pertama, KDRT membahayakan keselamatan hidup korbanÂ
Tak sedikit kasus KDRT yang berakhir dengan kematian korbannya. Korban KDRT bukannya tidak berusaha untuk keluar dari hubungan toksik tersebut, tetapi seringkali usahanya diabaikan bahkan digagalkan.Â
Masih ingat kasus KDRT yang dialami oleh Mega Suryani Dewi di Cikarang Barat? Sebelum meninggal dibunuh suaminya, Mega pernah membuat laporan ke kepolisian, tetapi lambat ditangani.Â
Sekitar tahun 2017 silam, seorang perempuan di Bali bernama Ni Putu Kariani terbaring tak berdaya di rumah sakit setelah kakinya ditebas dengan parang oleh suami sendiri. Apakah sebelum kejadian tersebut, Putu hanya berdiam diri dan pasrah menerima kekerasan sang suami?Â
Menurut kabar yang beredar, sebelum kehilangan kakinya, Putu telah berkali-kali menerima penganiayaan, baik kecil maupun besar, selama bertahun-tahun. Sementara pihak keluarga yang mengetahui KDRT itu justru meminta Putu untuk tetap bertahan dengan harapan suaminya akan berubah.Â
Intervensi atas kasus KDRT, baik melalui prosedur hukum maupun secara sosial (baca: lewat keluarga, teman atau tetangga yang menyelamatkan korban), setidaknya dapat mencegah hal yang lebih buruk terjadi pada korban.Â
Kedua, untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan mental korbanÂ
KDRT tidak hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga trauma yang menyesakkan. Selain sang istri, trauma bisa menimpa anak-anak yang sering melihat ibunya disakiti, baik secara verbal, psikis, fisik atau seksual. Bahkan tak menutup kemungkinan kalau anak-anak itu akan ikut jadi korban kekerasan ayahnya.Â
Anak-anak yang tumbuh dengan melihat atau mengalami kekerasan, tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi pelaku kekerasan ketika dewasa. Mereka juga cenderung menjadi anak yang kurang percaya diri dan memiliki self-esteem rendah. Tentu ini tidak baik bagi perkembangan dan kesehatan mental mereka.Â
Nah, intervensi macam apa yang bisa kita lakukan ketika mengetahui ada kasus KDRT di sekitar kita?Â
Minimal, kalau ada tetangga atau orang terdekat cerita tentang KDRT yang dialaminya, kita bisa menjadi pendengar yang baik. Tidak menghakimi, tidak sok tahu dan tidak adu nasib. Ingat, tidak semua korban KDRT berani menceritakan kejadian yang dialami pada orang lain. Kalau mereka curhat pada anda, itu artinya dia menaruh kepercayaan pada anda. Tunjukkan pada korban bahwa dengan kehadiran anda, dia tidak perlu takut menghadapi masalahnya sendirian.Â