"Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerima apa adanya..."
Coba bayangkan, anda memeluk suatu agama, mengimani Tuhan dan nabi yang sama, membaca kitab suci yang sama, menjalankan ritual peribadatan yang sama, tapi anda dianggap menyimpang karena aliran keagamaan yang anda anut berbeda dengan mayoritas.Â
Bayangkan, suatu ketika anak-anak anda yang masih kecil mengadu bahwa di sekolah, teman-teman dan gurunya menyebutnya "sesat". Atau ketika mereka dengan penuh ketakutan bertanya tentang rumahnya yang dilempari batu, barang-barang yang dijarah, tempat ibadah yang disegel, Â orang-orang yang berteriak penuh amarah dan mereka sekeluarga yang terusir dari kampungnya. Â
Kengerian itulah yang akan anda temukan dalam novel berjudul Maryam karya Okky Madasari. Novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2012 ini berkisah tentang Maryam Hayati, seorang perempuan kaum Ahmadi (penganut aliran Ahmadiyah) yang harus berhadapan dengan penolakan, intimidasi dan persekusi karena keyakinan yang dianutnya.Â
Awalnya, Maryam dan keluarganya dapat hidup dengan tenang dan damai, berdampingan dengan tetangga yang sebagian besarnya adalah muslim arus utama (Islam sunni), di sebuah kampung pesisir di Gerupuk. Selama itu pula, tidak pernah ada tetangga yang mempermasalahkan perbedaan tersebut.Â
Namun, entah siapa yang mulai menyulut api, ketenangan dan kedamaian hidup mereka rusak. Warga kampung memberi pilihan: tetap tinggal di kampung itu dan meninggalkan keyakinan mereka atau angkat kaki dari kampung tersebut. Mereka pun memilih pergi.Â
Di pengungsian, keluarga Maryam bertemu dengan keluarga Ahmadi lain yang bernasib serupa. Setelah beberapa bulan, sebagian dari pengungsi tersebut, termasuk keluarga Maryam, bersama-sama pindah ke Gegerung, daerah pinggiran yang jauh dari keramaian. . Mereka pun mulai menata kembali kehidupan yang sempat porak poranda.Â
Sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Mereka terusir untuk kedua kalinya dan terpaksa mengungsi ke Gedung Transito. Berbeda dengan pengusiran yang pertama, kali ini mereka dihadapkan pada penantian dan ketidakpastian kapan akan kembali ke rumah.Â
Mengapa Ahmadiyah Dianggap Sesat?Â
Di kalangan umat Islam, perihal Ahmadiyah adalah topik yang sensitif. Persekusi pada kelompok Ahmadiyah semakin tinggi intensitasnya sejak MUI merilis fatwa sesat terhadap kelompok tersebut pada tahun 1980. Posisi Ahmadiyah semakin terpojok ketika fatwa tersebut diperkuat pada 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam.Â
Dilansir dari BBC Indonesia, peneliti Ahmadiyah dari FISIP Universitas Merdeka Malang, Catur Wahyudi, mencatat ada tiga aspek yang menyebabkan Ahmadiyah dianggap sesat oleh umat Islam arus utama.Â
Pertama, Ahmadiyah dinilai tidak konsisten dalam syahadat karena memosisikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sementara umat Islam arus utama memandang Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir. Adapun mengenai hal ini, Mirza Ghulam Ahmad diposisikan sebagai nabi penerus yang tidak membawa risalah atau syariat.Â
Kedua, sosok Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan al Masih al Mau'ud (Imam Mahdi yang dijanjikan). Hal ini menjadi perdebatan dengan kalangan Islam arus utama yang menganggap bahwa Imam Mahdi dan al Masih al Mau'ud adalah Nabi Isa a.s.Â
Ketiga, ada kemungkinan bahwa pandangan miring itu muncul akibat pemahaman yang keliru tentang kelompok Ahmadiyah. Misalnya, mengenai Tadhkirah (kadang ditulis Tadzkirah) yang dianggap sebagai kitab suci Ahmadiyah. Padahal yang sebenarnya adalah Muslim Ahmadiyah tidak memposisikan Tadzkirah sebagaimana Al-Quran yang wajib dibaca. Tadzkirah diposisikan sama seperti buku-buku Mirza Ghulam Ahmad lainnya yang dianjurkan dibaca, bukan diwajibkan memiliki atau membacanya setiap hari.Â
Masih dari sumber yang sama, intelektual muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi dalam pengantar buku Ahmadiyah Menggugat! menyebutkan bahwa sebagai bagian dari umat Islam, Ahmadiyah telah memenuhi prasyarat utama sebagai umat Rasulullah Saw, yaitu melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam secara sempurna.Â
Toleransi Ke DalamÂ
Bicara tentang toleransi, seringkali yang terbersit adalah toleransi terhadap kelompok lain yang berbeda agama, suku, ras, gender, ideologi dan sebagainya. Tentu ini tidak salah. Namun, bagaimana dengan toleransi di internal kelompok itu sendiri?Â
Di kalangan umat Islam misalnya. Selain kelompok arus utama (Sunni), ada juga kelompok-kelompok lain yang lebih kecil seperti Syiah, Ahmadiyah dan sebagainya. Kelompok-kelompok Islam minoritas inilah yang ironisnya sering dikriminalisasi oleh saudara yang masih seiman.Â
Cap "sesat", "kafir", "liberal" dan berbagai caci maki lainnya begitu mudah diucapkan, tanpa mau mengenali lebih dulu dari sudut pandang kelompok yang bersangkutan. Tak jarang, intimidasi dan diskriminasi pada mereka datang dari orang-orang terdekat.Â
Saya masih ingat bagaimana di kehidupan Maryam dengan suami pertamanya, Alam, yang non Ahmadi. Hubungan mereka sebenarnya ditentang orangtua masing-masing, tetapi mereka tetap nekat. Maryam pun dipaksa meninggalkan iman Ahmadinya jika ingin menikah dengan Alam.Â
Maryam yang tak kunjung hamil pun disalahkan. Si ibu mertua menganggapnya sebagai "hukuman" karena Maryam pernah "sesat". Ketidaktegasan Alam dalam menengahi konflik antara istri dan ibunya, membuat Maryam semakin terpuruk. Pernikahan yang belum sampai lima tahun itu pun bubar.Â
Institusi pendidikan yang seharusnya dapat menjadi wadah untuk menyemai bibit-bibit toleransi, ternyata malah menumbuhkan sikap diskriminatif dan kebencian. Hal itu tampak ketika adik Maryam, Fatimah, yang masih SMA, mendapat nilai 5 di rapor pada mata pelajaran agama.Â
Sang ayah yang mengetahuinya, marah besar dan tidak terima. Ia pun mendatangi sekolah dan minta penjelasan. Ayahnya semakin kecewa ketika tahu bahwa alasan Fatimah diberi nilai merah hanya karena dia seorang Ahmadi.Â
Kebencian terhadap kelompok Ahmadiyah ini sampai-sampai membuat keluarga Maryam tidak dapat melaksanakan wasiat sang ayah untuk menguburkannya di Gerupuk. Warga menolak lantaran tidak sudi kalau tanah pemakaman itu dipakai untuk menguburkan jenazah orang sesat.Â
Keimanan Itu Personal
Membaca novel ini mengingatkan saya pada salah satu video di kanal YouTube Narasi Newsroom yang meliput kehidupan jemaah Ahmadiyah di pengungsian transito, NTB. Salah satu narasumber yang diwawancarai, Syahidin, menceritakan bagaimana dirinya yang terusir dan rumahnya yang sudah delapan kali dirusak, dibakar serta diratakan. Mirip kan, dengan kondisi keluarga Maryam yang terusir dari rumah dan kampungnya?Â
Kondisi transito yang kini ditempatinya bersama pengungsi Ahmadiyah lainnya sudah tidak layak. Sementara janji untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih layak hanya jadi wacana.Â
Ada pemikiran pada diri mereka yang melakukan persekusi bahwa kelompok yang dinilai sesat ini halal untuk dibunuh. Lengkap dengan propaganda dan imajinasi yang dibangun bahwa kalau kelompok-kelompok itu dibiarkan akan menyesatkan lebih banyak orang. Mungkin mereka lupa pada pesan Al-Quran yang menyuruh kita untuk berlaku adil meskipun kita tidak menyukai orang atau kelompok yang bersangkutan (Al-Maidah ayat 8).Â
Lagipula, siapa yang mampu menilai dengan akurat bahwa seseorang beriman atau sesat? Keimanan adalah sesuatu yang sangat personal. Manusia tidak punya instrumen secanggih itu untuk menilai kualitas keimanan seseorang. Bahkan kepada dirinya sendiri, seseorang tidak bisa menjamin bahwa keimanannya akan selalu baik-baik saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H