Dilansir dari BBC Indonesia, peneliti Ahmadiyah dari FISIP Universitas Merdeka Malang, Catur Wahyudi, mencatat ada tiga aspek yang menyebabkan Ahmadiyah dianggap sesat oleh umat Islam arus utama.Â
Pertama, Ahmadiyah dinilai tidak konsisten dalam syahadat karena memosisikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sementara umat Islam arus utama memandang Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir. Adapun mengenai hal ini, Mirza Ghulam Ahmad diposisikan sebagai nabi penerus yang tidak membawa risalah atau syariat.Â
Kedua, sosok Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan al Masih al Mau'ud (Imam Mahdi yang dijanjikan). Hal ini menjadi perdebatan dengan kalangan Islam arus utama yang menganggap bahwa Imam Mahdi dan al Masih al Mau'ud adalah Nabi Isa a.s.Â
Ketiga, ada kemungkinan bahwa pandangan miring itu muncul akibat pemahaman yang keliru tentang kelompok Ahmadiyah. Misalnya, mengenai Tadhkirah (kadang ditulis Tadzkirah) yang dianggap sebagai kitab suci Ahmadiyah. Padahal yang sebenarnya adalah Muslim Ahmadiyah tidak memposisikan Tadzkirah sebagaimana Al-Quran yang wajib dibaca. Tadzkirah diposisikan sama seperti buku-buku Mirza Ghulam Ahmad lainnya yang dianjurkan dibaca, bukan diwajibkan memiliki atau membacanya setiap hari.Â
Masih dari sumber yang sama, intelektual muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi dalam pengantar buku Ahmadiyah Menggugat! menyebutkan bahwa sebagai bagian dari umat Islam, Ahmadiyah telah memenuhi prasyarat utama sebagai umat Rasulullah Saw, yaitu melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam secara sempurna.Â
Toleransi Ke DalamÂ
Bicara tentang toleransi, seringkali yang terbersit adalah toleransi terhadap kelompok lain yang berbeda agama, suku, ras, gender, ideologi dan sebagainya. Tentu ini tidak salah. Namun, bagaimana dengan toleransi di internal kelompok itu sendiri?Â
Di kalangan umat Islam misalnya. Selain kelompok arus utama (Sunni), ada juga kelompok-kelompok lain yang lebih kecil seperti Syiah, Ahmadiyah dan sebagainya. Kelompok-kelompok Islam minoritas inilah yang ironisnya sering dikriminalisasi oleh saudara yang masih seiman.Â
Cap "sesat", "kafir", "liberal" dan berbagai caci maki lainnya begitu mudah diucapkan, tanpa mau mengenali lebih dulu dari sudut pandang kelompok yang bersangkutan. Tak jarang, intimidasi dan diskriminasi pada mereka datang dari orang-orang terdekat.Â
Saya masih ingat bagaimana di kehidupan Maryam dengan suami pertamanya, Alam, yang non Ahmadi. Hubungan mereka sebenarnya ditentang orangtua masing-masing, tetapi mereka tetap nekat. Maryam pun dipaksa meninggalkan iman Ahmadinya jika ingin menikah dengan Alam.Â
Maryam yang tak kunjung hamil pun disalahkan. Si ibu mertua menganggapnya sebagai "hukuman" karena Maryam pernah "sesat". Ketidaktegasan Alam dalam menengahi konflik antara istri dan ibunya, membuat Maryam semakin terpuruk. Pernikahan yang belum sampai lima tahun itu pun bubar.Â