Senin (16/10/2023), Mahkamah Keluarga Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas 6 gugatan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), berkaitan dengan batas usia capres dan cawapres. Dari 6 gugatan yang diajukan, 3 gugatan ditolak, 2 tak diterima, 1 diterima sebagian.Â
MK menolak mengubah batas usia capres-cawapres menjadi 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun, tetapi usia tidak jadi masalah selama sudah pernah atau sedang menjadi kepala daerah.
Keputusan tersebut mengundang reaksi dari masyarakat. Banyak yang kecewa, tapi ada juga yang mendukung dengan alasan, "Kalau gak suka ya gak usah dipilih. Gitu aja kok repot." *Bombastic Side Eye*
Tren pemimpin muda di posisi pucuk pemerintahan seperti presiden dan perdana menteri (PM), sebenarnya sudah ada di berbagai negara.Â
Laporan Bloomerg tahun 2019 yang dikutip Euronews menunjukkan usia rata-rata pemimpin global telah meningkat sejak 1950-an. Namun, negara-negara di Eropa melawan tren tersebut dengan rata-rata usia pemimpin yang semakin muda sejak awal 1980-an.
Di Eropa, PM dan presiden tidak hanya semakin muda, tapi juga cenderung punya pengalaman politik yang minim sebelum menduduki jabatan puncak. Mereka juga kurang bergantung pada partai arus utama dan banyak menggunakan medsos serta TV untuk membangun citra dirinya.
Hal ini terlihat misalnya pada Presiden Perancis, Emmanuel Macron yang baru memasuki dunia politik formal 5 tahun sebelum menjabat sebagai presiden pada 2017, dengan usia saat dilantik 39 tahun. Dengan demikian, Macron menjadi pemimpin termuda Prancis sejak era Napoleon.
Rishi Sunak sebelum menjadi PM Inggris hanya menghabiskan 7 tahun pengalaman politik di House of Commons. Sunak pun menjadi PM Inggris termuda sejak Robert Jenkinson, Earl of Liverpool ke-2 yang menjabat tahun 1812.
Adapun negara di Eropa lainnya yang pernah memiliki pemimpin termuda dalam sejarah negaranya antara lain Italia dengan PM termudanya pada 2014, Ukraina dengan presiden termudanya yang terpilih pada 2019 dan Austria dengan kanselirnya yang pada saat terpilih di tahun 2017 baru berusia 31 tahun.
Tren pemimpin muda tidak hanya terjadi di negara-negara UE (Uni Eropa), tapi juga di negara-negara Afrika dan Amerika Latin.Â
Pemimpin Burkina Faso, Ibrahim Traore menduduki pucuk pimpinan negara di usia 35 tahun setelah melancarkan kudeta pada September 2022 terhadap Paul-Henri Damiba. Ada pula Presiden Chile, Gabriel Boric dengan cita-citanya membawa Chile ke arah 'kiri' menjabat posisi ini pada usia 35 tahun.
Hasil studi lain juga ditunjukkan oleh Pew Research Center terhadap 187 negara anggota PBB, di mana sebagian besar pemimpin dunia pada Maret 2023 berada pada rentang usia 50-60 tahun. Data tersebut dikecualikan dari negara-negara dengan kepala negara hanya sebatas simbol (figurehead leaders) dan sistem pemerintahan monarki.
Nah, bagaimana dengan Indonesia?
Secara historis, Indonesia pernah dipimpin oleh presiden dan wakil presiden berusia 40-an. Presiden Soekarno menjadi presiden termuda yang pernah memimpin Indonesia, dengan usia waktu dilantik adalah 44 tahun.Â
Untuk rekor wakil presiden termuda Indonesia, kita punya sosok Mohammad Hatta yang ketika terpilih dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 baru berusia 43 tahun. Selain menjadi wapres termuda, Bung Hatta juga menjadi wapres yang paling lama berkuasa, sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 1956.
Daya tarik para pemimpin muda antara lain terletak pada gaya dan cara komunikasi serta pendekatan yang anti mainstream dan cenderung "rebel". Cocok dengan semangat anak muda yang cenderung ingin tampil beda dan berbahaya.
Ketika Sebastian Kurz maju menjadi kanselir Austria, ia berhasil memperbarui citra partai pengusungnya (Partai Rakyat Austria) yang konservatif jadi lebih dinamis. Warna hitam pada emblem partai pun berganti jadi lebih cerah dan kekinian dengan warna toska.
Kesuksesan Jacinda Ardern dalam mendulang suara (terutama dari pemilih muda dan pemula) juga didukung dengan gayanya yang cair, hangat, dan terbuka. Hal lain yang membuat Ardern mampu menarik dukungan masyarakat Selandia Baru adalah keberpihakannya pada kelompok liyan, termasuk kaum homoseksual.
Leo Varadkar yang terpilih sebagai PM Irlandia di usia 39 tahun mendekati rakyatnya dengan mengikuti triathlon, berpenampilan kasual dan menerapkan komunikasi terbuka. Ia juga mendobrak konservatisme Irlandia dengan latar belakangnya yang keturunan India dan gay.
Meski sukses membentuk citra diri di awal, sayangnya, tidak semua kepemimpinan kaum muda ini berbuah manis. Ada yang karena ketidakmampuan dalam merealisasikan janji-janji kampanye. Ada pula yang karena penyebab lain di luar kekurangan mereka sebagai pemimpin.
Varadkar mulai dikecam oleh masyarakat Irlandia karena terlalu sibuk membangun citra positif dirinya dan Irlandia di mata dunia, sampai mengabaikan urusan-urusan domestik seperti pembangunan rumah bagi tunawisma.Â
Ketika Covid-19 melanda dunia, Varadkar juga dianggap lamban dalam menangani dampak pandemi di negaranya. Sampai-sampai bintang UFC Conor McGregor berinisiatif sendiri membelanjakan lebih dari Rp 17 miliar uangnya untuk membeli alat pelindung diri (APD) dan menyerahkannya ke sejumlah rumah sakit di wilayah Leinster.
Kurz yang mengundurkan diri pada 2021 di tengah berbagai tuduhan korupsi, baru-baru ini kembali menjadi perhatian publik setelah beberapa film tentang dirinya dirilis sekaligus.Â
Salah satu film yang paling ditunggu adalah film dokumenter kritis berjudul Projekt Ballhausplatz yang menggambarkan tentang naik turunnya karier Kurz di dunia politik.Â
Analis politik Austria, Thomas Hofer mengatakan bahwa Kurz memiliki kebiasaan hanya menerbitkan buku atau film yang pandai memuji dirinya agar citranya tetap terjaga di mata publik.
Tantangan sebagai pemimpin muda juga tidak mudah bagi perempuan. Alih-alih sorotan atas pemikiran, kinerja atau prestasi di dunia politik, pemimpin muda perempuan kerap dihadapkan pada seksisme.Â
Tak peduli sebaik apapun mereka bekerja, komentar dan pemberitaan miring soal penampilan, kehidupan pribadi atau hal-hal yang menyangkut keperempuanan, sering kali lebih heboh ketimbang sorotan tentang kerja-kerja politiknya.
Hal ini dialami oleh Sanna Marin (sekarang mantan PM Finlandia) yang dihujat publik hanya gara-gara foto dirinya dalam balutan blazer tanpa bra di majalah gaya hidup, Trendi. Ketika foto-foto dirinya di sebuah private party bocor, Marin dijuluki "Party Prime Minister", yang tentu saja dimaksudkan sebagai olok-olok.
Gaya "rebel", gaul, kekinian, dan kemampuan public speaking yang ciamik memang kombinasi yang mantap untuk menarik suara anak muda. Namun, sepandai-pandainya para politisi muda memoles citra dirinya, kemampuan dan integritasnya sebagai pemimpin harus bisa dibuktikan secara konkret.Â
Tanpa itu semua, pencitraan di awal hanya omong kosong. Harapan akan pemimpin muda yang juga mampu mendengar dan menjawab keresahan banyak anak muda, ternyata sama saja seperti politisi boomer yang memanfaatkan suara anak muda hanya untuk memenangkan kontestasi 5 tahunan.
Janganlah kita jadi FOMO, sekadar ingin mencontoh negara lain yang sudah lebih dulu menelurkan pemimpin muda. Sebab, dalam memimpin suatu institusi, daerah bahkan negara, ada hal lain yang wajib dimiliki oleh pemimpin muda, termasuk pengalaman politik yang panjang plus kontribusi serta integritasnya sepanjang pengalaman politik tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI