Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uma Oma Cafe dan Kritik Atas Ageisme di Dunia Kerja Kita

23 September 2023   06:00 Diperbarui: 23 September 2023   06:21 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal secara matematis, kebutuhan hidup mereka lebih banyak ketimbang pekerja perempuan yang berusia lebih muda dan lajang. Terlebih jika anak sudah mulai sekolah. Bukankah sekolah anak butuh biaya? 

Lalu, bagaimana dengan para ibu tunggal yang harus menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya? 

Lagipula, rentang usia ibu-ibu muda tersebut sebenarnya masih terhitung usia produktif. Maka dari itu, mereka yang tidak terserap pekerjaan formal sedangkan masih masuk usia produktif, akhirnya lebih memilih menjadi pekerja informal ketimbang kerja kantoran. 

Gara-gara ini pula, saya jadi berpikir bahwa masalah pengangguran di Indonesia memang tidak melulu karena mismatching between skill and industry needs. Jangan-jangan ada andil ageisme juga sehingga banyak orang yang seharusnya bisa terserap ke industri, tapi tersisih karena usia yang dianggap "ketuaan". 

Selain lekat dengan stereotip dan stigma, ageisme tumbuh subur karena ekspektasi dan tekanan sosial untuk mencapai hal-hal tertentu di usia tertentu. Misalnya, usia 22 atau 23 tahun sudah harus lulus S1, lulus S1 harus langsung bekerja, usia 25 tahun harus sudah menikah, usia 30 tahun harus sudah mapan dan punya anak dan sebagainya. 

Akhirnya timbul prasangka bahwa pekerja perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak tidak bisa profesional dalam bekerja karena pikirannya terbagi antara mengurus keluarga dan pekerjaan. Apalagi jika pekerjaan mengharuskan mereka untuk melakukan perjalanan bisnis atau berdinas di luar kota. 

Batasan usia maksimal dibuat semuda mungkin dengan asumsi bahwa perempuan di usia 25 tahun ke atas pasti akan menikah dan punya anak. Nyatanya, dunia tidak selalu berjalan seperti itu, Ferguso! 

Timeline hidup setiap orang berbeda. Starting point nya juga bisa jadi berbeda. Bukan sebuah kesalahan jika timeline hidup seseorang tidak sesuai dengan ekspektasi sosial. 

Sementara itu, di berbagai negara, praktik ageisme seperti membatasi usia pelamar dalam lowongan kerja telah dilarang. Alasan pelarangan ini berangkat dari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Justru, dalam beberapa hal, pekerja senior punya pengalaman dan kemampuan lebih untuk mengerjakan sesuatu ketimbang pekerja muda. 

Ambil contoh oma-oma karyawan Uma Oma Cafe yang saya sebut di atas. Usia tua setidaknya membuat mereka memiliki kematangan dan pengendalian emosi yang lebih baik sehingga lebih telaten. Entah itu dalam melayani pelanggan atau meracik bahan-bahan masakan untuk dihidangkan. 

Konvensi ILO 1958 Nomor 111 tentang Diskriminasi Ketenagakerjaan dan Pekerjaan sejatinya mengajak kepada para anggota untuk mendorong terciptanya kebijakan nasional yang mempromosikan kesetaraan kesempatan dan perlakuan yang menghormati ketenagakerjaan dan pekerjaan serta mengeliminasi segala bentuk diskriminasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun