Kafe telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kekinian, terutama bagi kaum muda urban. Pemilik bisnis dituntut untuk memutar otak, berinovasi dan menciptakan konsep yang unik agar dapat bersaing dengan kafe-kafe lain.
Jika biasanya kafe berisikan anak-anak muda sebagai pekerjanya, sebuah kafe di daerah Melawai, Jakarta Selatan ini punya konsep unik. Namanya Uma Oma Cafe. Kafe yang baru dibuka di daerah tersebut pada bulan September 2023 ini juga mempekerjakan lansia.Â
Bahkan, di lowongan kerja yang diunggah di akun instagram @umaomacafe tidak mencantumkan batasan usia maksimal. Dan itu diberlakukan untuk 8 posisi yang dibuka.Â
Kehadiran Uma Oma Cafe bukan hanya menambah referensi tempat nongkrong yang asyik buat anak-anak Jakarta, melainkan juga mematahkan stigma bahwa lansia sudah tidak mampu lagi produktif dan berdaya. Di tengah maraknya ageisme (diskriminasi usia) di dunia kerja tanah air, apa yang dilakukan oleh founders Uma Oma Cafe ini sekaligus menjadi oase bagi para lansia yang masih sehat untuk tetap bisa mengaktualisasikan dirinya di usia senja.Â
Di Indonesia, pemandangan lansia masih aktif bekerja mungkin tampak tidak lazim. Beberapa mungkin merasa iba dan mempertanyakan tentang keberadaan dan tanggung jawab anak-anaknya, mengapa bapak atau ibu sudah tua begitu masih harus bekerja.Â
Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Mereka pun tidak melulu minta dikasihani karena usianya. Kakek saya dari pihak ayah, sampai sebelum wafatnya, bahkan masih aktif mengurus CV nya, mengajar, berorganisasi dan sering melayani tamu-tamu yang datang ke rumah untuk berdiskusi.Â
Jangankan yang sudah lansia, umur 30 tahun rasanya sudah seperti manusia purba kalau di dunia kerja Indonesia. Bagaimana tidak, sebagian besar lowongan kerja kita mensyaratkan batas usia maksimal yang sangat muda, yaitu di rentang usia 25-30 tahun. Sudah batas usia maksimal yang ditetapkan sangat muda, masih ditambah syarat "lajang".Â
Pekerja perempuan mengalami dampak yang lebih berat dengan adanya ageisme ini. Tanpa ageisme saja, pekerja perempuan sudah mengalami sejumlah kesulitan seperti diskriminasi gender, kesenjangan upah, hak atau fasilitas di tempat kerja yang tidak memadai (misal: penyediaan ruang laktasi, hak cuti haid, jam kerja yang terlalu panjang dan sebagainya).Â
Dengan adanya ageisme, perempuan berusia 30 tahun ke atas yang hendak kembali bekerja atau switch career seringkali kesulitan memperoleh pekerjaan formal. Pilihan semakin terbatas sedangkan pasar tenaga kerja lebih meminati orang-orang berusia di bawah 30 tahun untuk direkrut.Â
Bagi pekerja perempuan, mengambil gap year untuk fokus mengurus keluarga setelah menikah itu lazim terjadi. Biasanya, mereka akan kembali berkarir setelah anak disapih atau sudah masuk usia sekolah. Sayangnya, niat itu terhalang karena status pernikahan dan usia yang dianggap tidak lagi muda di pasar tenaga kerja.Â
Padahal secara matematis, kebutuhan hidup mereka lebih banyak ketimbang pekerja perempuan yang berusia lebih muda dan lajang. Terlebih jika anak sudah mulai sekolah. Bukankah sekolah anak butuh biaya?Â
Lalu, bagaimana dengan para ibu tunggal yang harus menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya?Â
Lagipula, rentang usia ibu-ibu muda tersebut sebenarnya masih terhitung usia produktif. Maka dari itu, mereka yang tidak terserap pekerjaan formal sedangkan masih masuk usia produktif, akhirnya lebih memilih menjadi pekerja informal ketimbang kerja kantoran.Â
Gara-gara ini pula, saya jadi berpikir bahwa masalah pengangguran di Indonesia memang tidak melulu karena mismatching between skill and industry needs. Jangan-jangan ada andil ageisme juga sehingga banyak orang yang seharusnya bisa terserap ke industri, tapi tersisih karena usia yang dianggap "ketuaan".Â
Selain lekat dengan stereotip dan stigma, ageisme tumbuh subur karena ekspektasi dan tekanan sosial untuk mencapai hal-hal tertentu di usia tertentu. Misalnya, usia 22 atau 23 tahun sudah harus lulus S1, lulus S1 harus langsung bekerja, usia 25 tahun harus sudah menikah, usia 30 tahun harus sudah mapan dan punya anak dan sebagainya.Â
Akhirnya timbul prasangka bahwa pekerja perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak tidak bisa profesional dalam bekerja karena pikirannya terbagi antara mengurus keluarga dan pekerjaan. Apalagi jika pekerjaan mengharuskan mereka untuk melakukan perjalanan bisnis atau berdinas di luar kota.Â
Batasan usia maksimal dibuat semuda mungkin dengan asumsi bahwa perempuan di usia 25 tahun ke atas pasti akan menikah dan punya anak. Nyatanya, dunia tidak selalu berjalan seperti itu, Ferguso!Â
Timeline hidup setiap orang berbeda. Starting point nya juga bisa jadi berbeda. Bukan sebuah kesalahan jika timeline hidup seseorang tidak sesuai dengan ekspektasi sosial.Â
Sementara itu, di berbagai negara, praktik ageisme seperti membatasi usia pelamar dalam lowongan kerja telah dilarang. Alasan pelarangan ini berangkat dari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Justru, dalam beberapa hal, pekerja senior punya pengalaman dan kemampuan lebih untuk mengerjakan sesuatu ketimbang pekerja muda.Â
Ambil contoh oma-oma karyawan Uma Oma Cafe yang saya sebut di atas. Usia tua setidaknya membuat mereka memiliki kematangan dan pengendalian emosi yang lebih baik sehingga lebih telaten. Entah itu dalam melayani pelanggan atau meracik bahan-bahan masakan untuk dihidangkan.Â
Konvensi ILO 1958 Nomor 111 tentang Diskriminasi Ketenagakerjaan dan Pekerjaan sejatinya mengajak kepada para anggota untuk mendorong terciptanya kebijakan nasional yang mempromosikan kesetaraan kesempatan dan perlakuan yang menghormati ketenagakerjaan dan pekerjaan serta mengeliminasi segala bentuk diskriminasi.Â
Adapun diskriminasi yang dimaksud termasuk diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, asal usul kebangsaan atau sosial. Kemudian, melalui Older Workers Recommendation 1980 No. 162, diskriminasi usia dinyatakan sebagai bentuk diskriminasi dalam ketenagakerjaan dan pekerjaan, sehubungan dengan pekerja yang lebih tua.Â
Sejumlah negara seperti Australia, Finlandia, Belanda, Norwegia dan Britania Raya telah melakukan kampanye informasi berskala besar yang disponsori pemerintah untuk mengatasi keengganan pemberi kerja dalam merekrut dan mempertahankan pekerja senior. Di Britania Raya misalnya, kampanye the United Kingdom's Age Positive dilakukan untuk mempromosikan dan meningkatkan kesadaran akan manfaat keberagaman usia di tempat kerja.Â
Nah, bagaimana dengan Indonesia?Â
Indonesia sebenarnya punya UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 yang dalam pasal 5 disebutkan bahwa "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan". Selanjutnya, dalam pasal 6 juga tertulis bahwa "Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha".Meski tidak secara eksplisit menyebut diskriminasi usia atau ageisme, setidaknya UU Ketenagakerjaan menjamin kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan.Â
Proses rekrutmen, pengembangan dan promosi seharusnya didasarkan pada pengalaman dan kemampuan calon/tenaga kerja, bukan oleh kriteria atau alasan tertentu yang tidak ada hubungannya dengan profesionalisme. Usia hanya angka, bukan penanda ketidak kompetenan seseorang atas suatu pekerjaan. Yang lebih muda bukan berarti kurang mampu dan kurang bijak, sedangkan yang lebih tua bukan berarti usang dan tidak relevan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H