Setelah dewasa, saya baru sadar kalau institusi bernama sekolah bisa begitu otoriter. Sepatu harus hitam polos, rambut siswa laki-laki tidak boleh gondrong dan beberapa aturan aneh bin ajaib lainnya. Kata guru-guru di sekolah dulu, semua aturan itu untuk melatih kedisiplinan dan kerapian. Saya jadi berpikir, memang boleh, seseragam itu untuk mendisiplinkan siswa?Â
Di saat sekolah-sekolah lain melarang murid laki-lakinya untuk berambut gondrong, salah satu SMA swasta khusus laki-laki di Jogja, yaitu SMA Kolese De Britto malah berlaku sebaliknya.
Meski begitu, lazimnya sekolah-sekolah berbasis Katolik, SMA Kolese De Britto punya aturan kedisiplinan yang ketat. Soal prestasi dan kualitas akademik murid-muridnya? Jangan salah, persaingan di sekolah tersebut sudah kompetitif sejak dari seleksi masuk.Â
Lagipula, kenapa sih sekolah lebih suka mengurusi hal-hal yang kurang esensial seperti potongan rambut? Apa benar, mereka yang berambut gondrong itu tidak rapi, tidak disiplin dan identik dengan perilaku kriminal?
Hukuman Cukur Rambut yang Tidak Mendidik
Saya tidak paham apa urgensinya sekolah memberlakukan hukuman cukur rambut pada siswa laki-laki berambut gondrong. Jika untuk mendisiplinkan, memangnya tidak ada cara lain yang lebih edukatif, kreatif dan tegas agar siswa bisa lebih tertib dan disiplin?
Padahal guru yang memberlakukan hukuman cukur rambut sebetulnya bisa dipenjara. Dasar hukumnya adalah Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta."
Adapun pasal lainnya yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku hukuman cukur rambut adalah Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak.
Kejadian yang hampir berujung pada pemidanaan berlandaskan pasal-pasal tersebut pernah terjadi pada seorang guru SD berinisial AS di Majalengka, Jawa Barat pada 2012 lalu.
Tak hanya itu, jaksa juga memasukkan Pasal 335 ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan untuk memberatkan dakwaannya.
Selain tidak mendidik, hukuman cukur rambut ternyata bisa menimbulkan dampak psikologis pada siswa. Hal itu pernah terjadi tahun lalu pada seorang anak SD yang mengalami trauma dan demam lantaran rambutnya dipotong berantakan oleh gurunya.
Kejadian tersebut kemudian menjadi viral setelah sang ibu melalui akun TikTok @reva,juliany mengunggah video yang menceritakan kalau anaknya yang biasa pulang pukul 15.00 pulang lebih awal dalam kondisi sakit dan rambut yang dipotong berantakan.
Kejadian lainnya juga dialami oleh sekitar 20 murid kelas 3, 4 dan 5 SD di Banyuwangi, Jawa Timur yang diberikan hukuman cukur rambut oleh guru olahraga ekstrakurikuler pencak silat karena rambut mereka dianggap kurang pendek.
Gara-gara hukuman cukur rambut, anak-anak itu pulang dengan rambut cepak tak beraturan. Bahkan ada yang mengalami luka gores pada kepalanya. Akibat kejadian itu, mereka merasa malu untuk pergi ke sekolah keesokan harinya.
Hukuman Cukur Rambut Berawal dari Era Orde Baru
Stigma rambut gondrong yang dilekatkan dengan pelaku kriminal terbentuk pada masa Orde Baru. Saat itu, razia rambut gondrong terjadi di berbagai tempat seperti jalan raya, sekolah hingga kantor pemerintah. Bahkan, orang yang berambut gondrong tidak akan dilayani di kepolisian ketika akan mengurus SIM, izin pertunjukan, izin rapat atau surat keterangan bebas G30S/PKI.
Stigma rambut gondrong pun dipertebal melalui framing pemberitaan di surat kabar. Kata-kata berunsur kriminal seperti merampok, memerkosa, memeras hingga pecandu narkoba lebih sering dilekatkan dengan rambut gondrong ketimbang ciri-ciri lain seperti botak, gundul atau cepak.
Saking alerginya rezim Orde Baru dengan rambut gondrong, pada tahun 1970-an, aparat negara sampai diterjunkan ke pinggir jalan Jakarta untuk mengguntingi rambut gondrong karena dianggap bertentangan dengan norma-norma umum.
Sayangnya, perubahan zaman tidak sepenuhnya mengubah aturan-aturan otoriter pada masa lalu. Kalau dibilang bahwa hukuman model begitu sudah ketinggalan zaman, pasti ada saya yang akan membantah dengan bilang, "Dulu zaman saya sekolah juga begitu."
Zaman Berubah, Cara Mendidik juga Harus Berubah
Hukuman sejatinya merupakan konsekuensi atas kesalahan seseorang. Hukuman yang efektif adalah hukuman yang memberikan efek jera sekaligus pelajaran berharga agar orang tidak mengulang kesalahan yang sama.
Namun, hukuman seharusnya dikomunikasikan dulu kepada pihak-pihak terkait. Jika terjadi dalam lingkup sekolah, hukuman juga harus disosialisasikan kepada peserta didik dan orangtua/wali murid, sebagaimana halnya tata tertib sekolah.
Sebenarnya, tidak melulu karena anak-anak zaman sekarang yang lembek, tapi karena zamannya sudah berbeda. Tantangan dan kebutuhannya pun berbeda.
Namun beberapa orang dari generasi tua memang terlalu mengglorifikasi zamannya sehingga tidak mau memahami dan berubah. Hanya karena sesuatu adalah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun, belum tentu itu baik dan benar.
Selain itu, apa yang dianggap baik oleh guru, belum tentu baik bagi siswa. Hukuman cukur rambut yang katanya untuk mendisiplinkan siswa malah membuat siswa malu bahkan trauma. Dan hukuman yang diterapkan tanpa consent, apalagi sampai menimbulkan trauma, sama saja dengan kekerasan.
Mendidik siswa untuk disiplin memang tidak gampang, terlebih di tengah perkembangan zaman yang semakin dinamis. Hukuman yang mengandung unsur kekerasan dan kontrol berlebih seharusnya diganti dengan hukuman yang lebih mendidik.
Yang lebih penting lagi, siswa sejak usia dini harus diajarkan (sesuai jenjang usia) untuk memahami konsekuensi atas setiap tindakan mereka.
Dengan demikian, kedisiplinan dan ketaatan pada aturan akan terbentuk karena kesadaran, bukan ketakutan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI