Tanggal 1 Mei selalu diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Buruh. Pada tanggal ini pula, kita biasa menemukan ada demo-demo buruh.Â
Tuntutan mereka bukan hanya soal upah, melainkan ada pula hal-hal lain yang tidak kalah krusial. Misalnya, masalah hak cuti, jam kerja yang tidak manusiawi, kesehatan dan keselamatan kerja sampai masalah ketidaksetaraan gender yang sering menimpa pekerja perempuan.Â
Kalau kita lihat media sosial, kita juga bisa menemukan curhatan-curhatan warganet sampai meme-meme yang menyindir soal kejamnya dunia kerja.Â
Keluhan-keluhan itu terutama disuarakan oleh para pekerja muda atau milenial, termasuk yang masih entry level. Sampai-sampai sekarang ini populer istilah "budak korporat" di kalangan anak-anak muda.Â
Yang membuat jengkel, selalu saja ada generasi tua sok bijak yang merespon keluhan-keluhan itu dengan mengatakan kalau anak muda sekarang manja, lemah dan tidak bisa menghargai proses. Hm, benarkah demikian?Â
Mohon maaf, para bos yang terhormat, sebetulnya kami tidak manja.Â
Sebagai pekerja, permintaan kami gak macam-macam kok. Kami hanya minta Anda untuk memanusiakan kami. Apakah itu bisa dipahami?Â
Kalau belum paham juga, biar saya jelaskan barang sedikit.Â
Bekerja dan memperoleh penghasilan yang layak untuk penghidupan adalah kebutuhan dan hak dasar setiap manusia. Waktu yang dimiliki oleh setiap orang, siapapun dia, adalah sama: 24 jam dalam sehari. Apakah waktu 24 jam itu hanya dipakai untuk bekerja?Â
Sekarang bayangkan pekerja disuruh bekerja melebihi batas normal yang ditetapkan dalam undang-undang. Hak istirahat terambil, hak untuk menjalankan hobi tercuri, hak bersosialisasi terenggut, hak untuk bercengkerama dengan keluarga terampas. Pekerja mana yang tidak stres dan tipes? Gak ngerti ya, kalau tubuh manusia itu ada batasnya?Â
Kalau Anda ingin karyawan yang bisa bekerja 24/7 tanpa protes atau minta tambahan upah, pekerjakan saja robot. Sudah tahu yang dipekerjakan itu manusia, ya perlakukan mereka sebagaimana manusia dong!Â
Memang, sekarang sudah jamak ditemukan pekerjaan yang menerapkan jam kerja fleksibel. Dalam pikiran saya, jam kerja fleksibel itu berarti saya bisa mengatur sendiri mulai dan selesai bekerja jam berapapun, asalkan pekerjaan selesai dengan baik sesuai deadline.
Ternyata, jam kerja fleksibel yang dijanjikan dalam kontrak tak lebih dari sekadar eufemisme. Dengan kata lain, maksud dari jam kerja fleksibel adalah Anda harus siap dan mau diberi kerjaan kapanpun, bahkan di jam-jam orang seharusnya istirahat atau hari libur. Jam kerja fleksibel kok jadinya malah bikin pekerja overwork?Â
Lalu, apa kabar aturan ketenagakerjaan soal lembur? Sudah diterapkan atau malah diabaikan dengan dalih loyalitas?Â
Teman-teman fresh graduate yang lagi cari kerja, pernah gak ditanya, "Kalau diterima kerja, siap gak kalau diminta lembur tanpa dibayar? Siap gak kalau harus kerja di luar jam/hari kerja normal" saat tahap interview?Â
Ketahuilah teman-teman, bahwa itu adalah celah eksploitasi. Bagi bos loyalitas, bagi pekerja loyolitas.Â
Belum lagi iklan lowongan kerja absurd yang mencantumkan kualifikasi macam orang yang sengaja belanja borongan biar dapat harga murah.Â
Satu posisi yang dicari tapi daftar kualifikasinya bisa buat tiga sampai empat posisi. Misalnya, cari karyawan untuk posisi content writer, tapi dia juga dituntut harus bisa mengelola medsos, paham SEO atau bisa desain grafis.Â
Padahal pengelolaan medsos bisa dikerjakan oleh admin medsos atau kalau mau lebih advance, silakan pekerjakan social media specialist.Â
Soal SEO, ada profesi namanya SEO specialist. Untuk desain grafis, rekrut atau bayar saja pekerja lepas yang bisa desain grafis dengan bayaran yang layak.Â
Ya gimana deh, pengen dapet karyawan yang kayak toserba alias apa-apa bisa tapi gak mau keluar modal lebih. Situ niat cari karyawan apa Avatar?Â
Tantangan yang tidak kalah berat juga banyak dirasakan pekerja perempuan.Â
Perempuan punya kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki, yaitu haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Kondisi ini membuat perempuan bisa mengalami yang namanya perubahan bentuk tubuh maupun gejolak psikologis karena pengaruh hormonal. Dan kondisi tersebut seringkali tidak mudah bagi kami, para perempuan.Â
Jadi, kalau ada pekerja perempuan meminta cuti haid karena mengalami nyeri perut hebat yang membuatnya kesulitan untuk beraktivitas normal, itu bukan karena mereka manja atau minta diistimewakan. Hak cuti khusus perempuan bukan keistimewaan, melainkan sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan kodrat mereka sebagai perempuan.Â
Pekerja perempuan juga masih sering mengalami diskriminasi, pelecehan dan upaya-upaya lain yang menghambat perkembangan diri mereka sebagai pekerja.Â
Lebih memprihatinkan lagi pekerja perempuan kerah biru. Sudah upahnya kecil, jam kerja yang terlampau panjang, kalau tidak masuk kerja tidak dibayar (no work no pay), perlindungan kesehatan, keamanan dan keselamatan kerja tidak diperhatikan. Ini termasuk upaya pemiskinan terhadap pekerja perempuan.Â
Rasanya memang serba salah bagi pekerja. Mau kerja secukupnya sesuai job desc dianggap pemalas dan tidak produktif. Mau kerja lebih keras, eh malah kena tipes atau asam lambung kumat.Â
Mau malas-malasan, takut dipecat. Giliran rajin bekerja dan murah hati, malah dimanfaatkan rekan kerja lain. Katanya sih minta tolong, tapi kok lama-lama jadi seperti penindasan terselubung ya?Â
Sudah ya, sampai sini saja keluhannya. Ntar kalau banyak-banyak, dikira rewel, manja, mental lemah (ehm~)
Selamat Hari Buruh untuk semua yang masih mengabdi dan memperoleh gaji dari orang lain. Semoga pengusaha-pengusaha bermental kompeni itu segera insyaf. Dan untuk para pejuang hak-hak buruh, tetaplah galak dan garang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H