Jangan tanya deh bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual oleh aparat. Sudahlah berbelit-belit, apalagi kalau pelakunya adalah orang berduit. Merespon kasus kekerasan seksual aja nunggu viral.
Lalu, di mana keadilan bagi korban?
Masihkah pakaian korban saat kejadian dipertanyakan?Â
Masihkah korban dianggap 'menikmati' kejadian tersebut hanya karena baru lapor sekarang sedangkan kejadiannya sudah berlangsung---katakanlah---setahun yang lalu?Â
Masihkah korban dihakimi sebagai pihak yang membuat pelaku tergoda?
Siapapun yang pernah mengalami kekerasan seksual pasti malu dan trauma. Merasa kotor, kehilangan rasa percaya diri dan merasa gagal menjaga diri. Perasaan bersalah seperti itu datang dari stigma di masyarakat yang memandang korban sebagai aib dan menormalisasi perbuatan pelaku.
Menikahkan korban dengan pelaku seringkali dianggap sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Namun, pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan korban?Â
Kejadian dengan pelaku saja sudah membuatnya trauma dan terluka. Menikah dengan pelaku artinya ia akan melihat wajah pelaku setiap hari dan itu tak lebih dari menambah luka baru sedang luka yang lama masih basah dan menganga.Â
Ancaman tidak hanya menimpa korban, tapi juga mereka yang membantu korban memperoleh keadilan dan ruang aman.
Adalah Hanisah, perempuan pendiri pesantren Dayah Diniyah Darussalam yang suatu ketika pernah menampung seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang hamil akibat menjadi korban pemerkosaan ayah kandungnya. Hanisah menampung gadis malang itu dan adiknya lantaran mereka sudah diusir dari kampungnya.