Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Manakah Tempat Teraman bagi Perempuan?

25 November 2022   09:48 Diperbarui: 26 November 2022   15:30 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan  aktivis membentanngkan poster protes saat aksi memperingati Hari Ibu di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (22/12/2021). Mereka menuntut pengesahan RUU TPKS. Foto: Kompas/Priyombodo

Jadi perempuan itu berat. Dilan aja belum tentu kuat.

Berpakaian terbuka dibilang murahan. Jilbab kurang panjang dibilang kurang salehah. Sudah bergamis dan berjilbab panjang masih juga digoda abang-abang dan fakboi syariah.

Lha terus perempuan kudu pakai apa?

Katanya, sebaik-baik perempuan adalah yang tinggal di rumah. Tujuan awalnya mungkin baik ya, untuk melindungi perempuan dari kejahatan yang ada di luar sana. 

Tapi kok kita makin sering disuguhi kabar perempuan jadi korban kejahatan di rumah sendiri?

Ada istri yang jadi korban KDRT suaminya. Ada anak perempuan yang dinikahkan paksa oleh orangtuanya. Padahal si anak masih di bawah umur dan ingin sekolah.

Ada juga anak perempuan yang jadi korban pelecehan seksual oleh anggota keluarganya. Entah oleh pamannya, saudara laki-lakinya bahkan ayah kandungnya. 

Dunia macam apa coba yang ditinggali oleh gadis sebelia itu?

Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan terhadap perempuan paling banyak justru terjadi di ranah personal atau biasa kita kenal dengan nama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tiga teratas adalah kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran dan kekerasan terhadap anak perempuan.

Namun, kita juga tidak bisa bilang kalau ruang publik lebih aman. Catcalling, pelecehan seksual di transportasi umum, perundungan di sekolah, seksisme di tempat kerja, dan sebagainya, menandakan bahwa ruang publik juga sama jahanamnya bagi perempuan.

Jangan tanya deh bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual oleh aparat. Sudahlah berbelit-belit, apalagi kalau pelakunya adalah orang berduit. Merespon kasus kekerasan seksual aja nunggu viral.

Lalu, di mana keadilan bagi korban?

Masihkah pakaian korban saat kejadian dipertanyakan? 

Masihkah korban dianggap 'menikmati' kejadian tersebut hanya karena baru lapor sekarang sedangkan kejadiannya sudah berlangsung---katakanlah---setahun yang lalu? 

Masihkah korban dihakimi sebagai pihak yang membuat pelaku tergoda?

Siapapun yang pernah mengalami kekerasan seksual pasti malu dan trauma. Merasa kotor, kehilangan rasa percaya diri dan merasa gagal menjaga diri. Perasaan bersalah seperti itu datang dari stigma di masyarakat yang memandang korban sebagai aib dan menormalisasi perbuatan pelaku.

Menikahkan korban dengan pelaku seringkali dianggap sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Namun, pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan korban? 

Kejadian dengan pelaku saja sudah membuatnya trauma dan terluka. Menikah dengan pelaku artinya ia akan melihat wajah pelaku setiap hari dan itu tak lebih dari menambah luka baru sedang luka yang lama masih basah dan menganga. 

ilustrasi tempat aman bagi perempuan-photo by Prasanth Inturi from pexels
ilustrasi tempat aman bagi perempuan-photo by Prasanth Inturi from pexels

Ancaman tidak hanya menimpa korban, tapi juga mereka yang membantu korban memperoleh keadilan dan ruang aman.

Adalah Hanisah, perempuan pendiri pesantren Dayah Diniyah Darussalam yang suatu ketika pernah menampung seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang hamil akibat menjadi korban pemerkosaan ayah kandungnya. Hanisah menampung gadis malang itu dan adiknya lantaran mereka sudah diusir dari kampungnya.

Sayangnya, niat mulia Hanisah dihadapkan pada penolakan. Warga mengusirnya dan meminta agar pondok pesantrennya dipindah ke lokasi baru. Rupanya warga menganggap anak korban perkosaan itu sebagai anak yang tidak baik. Kalau diterima di pesantren, mereka takut kampung mereka akan dicap sebagai kampung yang tidak baik.

Media-media yang kritis terhadap kasus kekerasan seksual juga tak luput dari ancaman pihak-pihak yang merasa terganggu. Serangan siber tak jarang dialami oleh media berikut awaknya yang vokal dalam mengusut dan menyuarakan kasus kekerasan seksual yang melibatkan orang-orang berprivilese (baca: orang kaya, pesohor, pemuka agama, aparat dan pejabat publik).

Ketika orang-orang terdekat tak mampu berempati, melapor ke pihak berwajib tak kunjung ditanggapi, memviralkan kasus kekerasan seksual di media sosial seolah menjadi solusi untuk mendapat atensi publik. Namun, melakukan hal itu bukan tanpa risiko.

Warganet yang maha kepo seringkali mendesak pengungkapan identittas pelaku dan korban yang dimaksud dalam unggahan tentang kasus kekerasan seksual tersebut. Alih-alih membantu, hal ini justru membahayakan keamanan dan keselamatan, baik korban maupun keluarganya.

Komentar-komentar dari warganet yang maha benar juga akan memperkeruh suasana. Pasti ada saja komentar-komentar warganet yang merisak dan menyudutkan korban. Terutama yang pakai akun anonim.

Tidak di ruang privat, ruang publik juga ruang virtual, tindak kekerasan mengintai perempuan dalam beragam bentuk. Mungkinkah tempat paling aman bagi perempuan hanya di dalam rahim ibu dan di sisi Tuhan?

Namun, rahim ibu adalah tempat singgah selama 9 bulan sebelum seorang manusia dilahirkan. Dan kita yang sudah terlanjur lahir tidak akan bisa kembali ke sana.

Sementara kembali ke sisi Tuhan artinya kita harus menunggu ajal datang.  Kendati demikian, saya tidak berharap Anda, para perempuan, menempuhnya dengan jalan pintas.

Selamat memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Semoga meningkatnya kesadaran untuk mengadukan dan mencari ruang aman terus dibarengi dengan penanganan yang tepat dan berperspektif korban.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun