Sejak era transaksi digital melanda, dompet makin tipis saja.Â
Kalaupun masih tampak tebal, tebalnya bukan melulu karena lembaran atau kepingan uang, melainkan banyaknya kartu yang dimiliki. Kartu debit dan kredit saja kadang bisa lebih dari satu biji.Â
Transaksi digital bisa lebih mudah lagi dengan kehadiran m-banking dan dompet digital yang aplikasinya bisa diunduh melalui ponsel pintar. Mau naik angkutan umum, belanja, makan-makan kini sudah dimudahkan dengan pembayaran non-tunai melalui scan QRIS, selain dengan gesek kartu.Â
M-banking dan dompet digital juga mempermudah kita untuk melakukan transaksi apapun secara daring tanpa perlu pergi kemana-mana. Semua riwayat transaksi kita tercatat di aplikasi sehingga kita bisa lacak kembali ada uang masuk dari mana dan pengeluaran kemana saja.Â
Perubahan kebiasaan masyarakat yang awalnya menggunakan pembayaran tunai dalam melakukan transaksi menjadi menggunakan pembayaran non tunai inilah yang dimaksud dengan fenomena cashless society atau masyarakat tanpa uang tunai.Â
Berarti uang tunai sudah tidak ada lagi dong?Â
Tentu maksudnya tidak seliteral itu.Â
Uang tunai tetap ada dan dibutuhkan untuk transaksi tertentu yang nominalnya lebih kecil dan apabila tidak tersedia fasilitas pembayaran non tunai. Hanya jumlah transaksinya saja yang mulai menurun, bukan betul-betul hilang.Â
Oleh karena itu, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital dan mewujudkan cashless society, tentu perlu ditunjang dengan beberapa hal berikut.Â
1. Akses internet yang menjangkau hingga ke pedesaanÂ
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate dalam acara Pelepasan Jelajah Sinyal dan Pembukaan Festival Literasi Digital Bisnis Indonesia mengungkapkan sebanyak 12.548 desa dan kelurahan belum tersentuh layanan internat (blankspot). Dari 12.548 desa dan kelurahan tersebut, ternyata tidak semuanya berada di daerah terdepan, tertinggal dan terluar (3T). (1)
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia APJII) juga menyatakan penetrasi layanan internet di Indonesia pada 2021-2022 mencapai 77,02% atau setara 210.026.769 jiwa dari total populasi 272.682.800 penduduk. Â Itu artinya sekitar 62,66 juta penduduk Indonesia tidak terjangkau akses internet.Â
Padahal akses internet yang lancar dan cepat adalah kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan cashless society.Â
Coba bayangkan, bagaimana orang mau jual-beli online, kalau infrastruktur, jaringan dan akses internet saja tidak ada di desa tempatnya tinggal?Â
2. Membenahi kesenjangan digitalÂ
Selain masyarakat miskin, berpendidikan rendah dan yang berada di daerah 3T, kesenjangan digital juga ikut dirasakan oleh penyandang disabilitas.Â
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2018 menunjukkan bahwa akses informasi bagi disabilitas di Indonesia dalam penggunaan telepon seluler dan laptop masih cukup rendah, yaitu 34,89%, sedangkan kelompok non disabilitas mencapai 81,61%. (2)
Jumlah ini naik sedikit di tahun 2020 menjadi 36,74%. Dengan demikian, akses internet oleh penyandang disabilitas hanya 8,50% sedangkan non disabilitas mencapai 45,46%.Â
Era digitalisasi yang lekat dengan transparansi dan keterbukaan informasi, seharusnya juga ramah terhadap berbagai kondisi penggunanya.Â
Jika kesenjangan digital tidak diatasi, ekonomi digital dan cashless society hanya akan berputar dan dinikmati oleh segelintir orang, seperti masyarakat perkotaan, kelas menengah ke atas, orang-orang berpendidikan dan kaum able bodied.Â
3. Meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakatÂ
Meski tingkat inklusi keuangan menunjukkan kenaikan, literasi keuangan masyarakat Indonesia masih terbilang rendah, yaitu hanya 38%.Â
Secara garis besar, literasi keuangan yang paling penting untuk dikuasai adalah pengetahuan mengenai produk, layanan dan lembaga jasa keuangan, pengelolaan keuangan pribadi, investasi dan tabungan, yang kalau dijabarkan bisa bercabang kemana-mana.Â
Seiring dengan berbagai kemudahan dalam bertransaksi, suatu hal yang juga perlu diwaspadai adalah meningkatnya konsumerisme. Siapa coba yang tidak tergoda dengan promo tanggal kembar? Siapa mampu menolak godaan big sale, diskon dan cashback?Â
Tanpa literasi keuangan yang baik, masyarakat rentan terjebak pada gaya hidup konsumtif yang merugikan, mudah terjerat utang demi membeli gaya hidup dan mudah tertipu oleh investasi bodong yang mengiming-imingi kekayaan dalam waktu singkat.Â
4. Pemerataan akses layanan keuangan atau perbankan
Salah satu upaya mewujudkan cashless society adalah akses layanan keuangan atau perbankan. Sebab, hampir semua transaksi digital, seperti belanja, isi ulang dompet digital, pembayaran tagihan rutin bulanan, pembayaran SPP, investasi sampai urusan bisnis, membutuhkan rekening bank.Â
Sayangnya, di Indonesia baru 52% atau sekitar 104,84 juta penduduk dewasa yang sudah punya akun layanan keuangan pada 2021. Jumlah ini masih jauh dari capaian global yang pada 2021 sudah mencapai 76%. (3)
Proporsinya pun masih di bawah Bangladesh (53%), Zimbabwe (60%) dan India (78%).Â
Bank Dunia juga mencatat sebanyak 48% atau 97,74 juta penduduk dewasa Indonesia yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) dan hanya 2% penduduk yang memiliki kartu kredit serta 35% yang memiliki kartu debit.Â
Akses layanan keuangan yang belum merata di Indonesia terkait erat dengan kondisi geografis dan demografi masyarakatnya yang beragam.Â
Sulitnya akses layanan keuangan terutama dialami oleh perempuan, masyarakat pedesaan, masyarakat berpendidikan dan berpendapatan rendah serta disabilitas.Â
5. Keamanan data konsumenÂ
Menggenjot pertumbuhan transaksi digital harusnya juga didukung dengan sistem perlindungan data yang baik.Â
Anda masih ingat bukan, soal kebocoran data NIK yang kemarin sempat ramai?Â
Atau kejadian konsumen yang menuntut pertanggungjawaban atas hilangnya saldo di dompet digitalnya setelah menggunakan layanan pesan antar makanan (bukan hilang karena habis dipakai bayar makanan plus ongkir)?Â
Di era digitalisasi ini, keamanan data masyarakat adalah isu krusial. Tanpa upaya serius, kebocoran data bisa disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, seperti dipakai untuk melakukan penipuan, pemerasan atau tindak kejahatan siber lainnya.Â
Sebagai masyarakat dan konsumen, kita juga bisa melakukan beberapa upaya untuk melindungi data pribadi, seperti rutin mengganti password dan PIN ATM/kartu kredit/m-banking/dompet digital, gunakan password dan PIN yang tidak mudah ditebak, bertransaksi digital di platform yang tepercaya dan legal, tidak sembarang memberikan informasi pribadi kepada pihak lain tanpa tahu digunakan untuk apa dan sebagainya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI