Secara garis besar, literasi keuangan yang paling penting untuk dikuasai adalah pengetahuan mengenai produk, layanan dan lembaga jasa keuangan, pengelolaan keuangan pribadi, investasi dan tabungan, yang kalau dijabarkan bisa bercabang kemana-mana.Â
Seiring dengan berbagai kemudahan dalam bertransaksi, suatu hal yang juga perlu diwaspadai adalah meningkatnya konsumerisme. Siapa coba yang tidak tergoda dengan promo tanggal kembar? Siapa mampu menolak godaan big sale, diskon dan cashback?Â
Tanpa literasi keuangan yang baik, masyarakat rentan terjebak pada gaya hidup konsumtif yang merugikan, mudah terjerat utang demi membeli gaya hidup dan mudah tertipu oleh investasi bodong yang mengiming-imingi kekayaan dalam waktu singkat.Â
4. Pemerataan akses layanan keuangan atau perbankan
Salah satu upaya mewujudkan cashless society adalah akses layanan keuangan atau perbankan. Sebab, hampir semua transaksi digital, seperti belanja, isi ulang dompet digital, pembayaran tagihan rutin bulanan, pembayaran SPP, investasi sampai urusan bisnis, membutuhkan rekening bank.Â
Sayangnya, di Indonesia baru 52% atau sekitar 104,84 juta penduduk dewasa yang sudah punya akun layanan keuangan pada 2021. Jumlah ini masih jauh dari capaian global yang pada 2021 sudah mencapai 76%. (3)
Proporsinya pun masih di bawah Bangladesh (53%), Zimbabwe (60%) dan India (78%).Â
Bank Dunia juga mencatat sebanyak 48% atau 97,74 juta penduduk dewasa Indonesia yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) dan hanya 2% penduduk yang memiliki kartu kredit serta 35% yang memiliki kartu debit.Â
Akses layanan keuangan yang belum merata di Indonesia terkait erat dengan kondisi geografis dan demografi masyarakatnya yang beragam.Â
Sulitnya akses layanan keuangan terutama dialami oleh perempuan, masyarakat pedesaan, masyarakat berpendidikan dan berpendapatan rendah serta disabilitas.Â
5. Keamanan data konsumenÂ
Menggenjot pertumbuhan transaksi digital harusnya juga didukung dengan sistem perlindungan data yang baik.Â