Ageisme merupakan salah satu hal yang membuat para pencari kerja beranggapan kalau cari kerja di Indonesia itu ribet.Â
Persyaratan kerja, termasuk menerapkan batasan usia maksimal sering dianggap tidak masuk akal. Lha wong bukan jenis pekerjaan yang butuh ketahanan fisik macam olahragawan, kok pakai batasan usia.Â
Keresahan inilah yang juga ditangkap lalu ditulis oleh Ethenia Novianty Windaningrum di The Jakarta Post melalui artikel berjudul Too old for the job? Stop age discrimination.Â
Dalam artikelnya, penulis yang ketika itu sudah tinggal dan bekerja di Denmark selama tiga tahun mengatakan bahwa selama tinggal dan bekerja di sana, ia belum pernah menemukan lowongan kerja yang mematok usia maksimal.Â
Penulis juga mengungkapkan bahwa di Denmark ia biasa menemukan pekerjaan-pekerjaan---yang  kalau di Indonesia lazimnya diisi oleh orang-orang muda---diisi pula oleh orang-orang tua.Â
Misalnya, ia menemukan banyak laki-laki tua bekerja sebagai petugas kasir sebuah supermarket. Tak sedikit pula ia temukan sopir bis berusia senja. Bahkan ada yang sudah berusia di atas 60 tahun.Â
Lantas, apa motivasi suatu instansi atau perusahaan menerapkan batasan usia maksimal untuk posisi tertentu?Â
Selain stereotipe dan prasangka, ageisme dalam dunia kerja lahir karena adanya ekspektasi sosial terhadap orang-orang pada jenjang usia tertentu.Â
Misalnya, usia 22-24 tahun dianggap sebagai usia ideal seorang fresh graduate. Itu sebabnya, lowongan kerja untuk posisi staf atau entry level, rata-rata batas usia maksimalnya tidak lebih dari 30 tahun.Â
Sementara usia di atas 30 atau 35 tahun, seorang pekerja dianggap sudah punya karier yang stabil dan mapan. Di usia itu juga, pekerja dianggap sudah menikah dan memiliki anak.Â