Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bubarnya Gerwani dan Kemunduran Gerakan Perempuan di Indonesia

1 Oktober 2022   11:06 Diperbarui: 1 Oktober 2022   11:12 2571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang sampai sakit jiwa karena tidak tahan dengan siksaan yang kejam. Adapun yang bisa bertahan dan masih hidup sampai hari ini, menanggung trauma masa lalu yang dalam sembari berharap agar negara meminta maaf. 

Stigma negatif juga diterima oleh anggota keluarga eks tapol. 

Anak-anak mantan anggota Gerwani dipandang sebagai anak pelacur yang tidak bermoral. 

Gara-gara stigma itu, hidup mereka jadi serba sulit. 

Keluarga tercerai-berai, sulit bergaul karena masyarakat terlanjur memberi cap jelek dan kesulitan dalam menempuh pendidikan maupun mencari pekerjaan karena dianggap "tidak bersih" (baca: lewat kebijakan bersih lingkungan, anak-cucu keturunan eks tapol tidak diperkenankan menjadi PNS, polisi, TNI dan beberapa pekerjaan lain, terutama di instansi negeri atau pemerintahan). 

Kemunduran Pergerakan Perempuan  

Dikutip dari bbc.com, antropolog Universitas Amsterdam yang bertahun-tahun meneliti tentang Peristiwa 1965, Saskia Wierenga mengatakan bahwa fitnah seksual terhadap perempuan-perempuan progresif dilakukan untuk mengontrol perempuan dengan dalih "menjaga stabilitas negara". Padahal ide-ide yang diperjuangkan oleh Gerwani sangat krusial, bahkan masih relevan dalam konteks kekinian. 

Setelah Gerwani bubar, menurut Saskia, gerakan perempuan di Indonesia sekarang ini cukup lemah. 

Di era Orba, organisasi perempuan yang diakui negara, seperti Dharma Wanita dan PKK pun tidak seprogresif Gerwani. Melalui organisasi tersebut, peran perempuan direduksi menjadi sekadar konco wingking, hanya mengurusi urusan domestik alih-alih turut berkontribusi di ruang publik. 

Amurwani Dwi Lestariningsih dari Masyarakat Sejarawan Indonesia juga mengemukakan bahwa dalam struktur masyarakat patriarki, sepak terjang Gerwani dalam ranah sosial-politik (ranah yang dianggap maskulin) itu aneh. 

Masyarakat patriarki memandang ruang publik itu ranah laki-laki dan ruang domestik adalah ranah perempuan. Jadi, kalau lihat perempuan aktif dan vokal di ruang publik, laki-laki patriarki akan merasa "wilayahnya" direbut. 

Padahal dalam menyelesaikan masalah sosial, politik dan ekonomi, perempuan punya caranya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun