Jumat (19/8/2022) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila), Karomani (KRM) atas kasus dugaan suap Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila).Â
KPK juga menetapkan status tersangka kepada Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi (HY), Ketua Senat Unila Muhammad Basri (MB) dan pihak pemberi suap Andi Desfiandi (AD).Â
Menurut pernyataan KPK, Karomani yang berstatus rektor berwenang untuk menentukan kelulusan para peserta Simanila tahun 2022. Dengan kewenangannya, Karomani memerintahkan bawahannya untuk menyeleksi peserta Simanila secara personal.Â
Para orangtua dari calon mahasiswa dikumpulkan dan dimintai uang (di luar biaya resmi) jika ingin calon mahasiswa tersebut lolos seleksi. Nominal uang yang dipatok pun bervariasi, dengan rentang Rp 100 juta-Rp 350 juta.Â
Ada anggapan miring yang nampaknya masih lestari hingga kini bahwa anak-anak yang lolos PTN lewat jalur mandiri cuma modal duit. Biar kata kemampuan otak pas-pasan, asal bisa bayar mahal pasti diterima.Â
Apalagi jalur seleksi mandiri bersifat tertutup sehingga sistemnya dipengaruhi oleh kebijakan kampus masing-masing. Berbeda dengan SNMPTN dan SBMPTN yang penyelenggaraannya nasional, serentak dan terbuka. Â
Hal ini akhirnya malah memperkuat stigma negatif tentang jalur seleksi mandiri. Stigma tersebut tentu tidak sepenuhnya benar karena banyak juga calon maba yang lolos PTN dengan cara jujur tanpa main suap sana-sini.Â
Praktik suap dan korupsi di Unila bukan satu-satunya kasus yang terjadi di perguruan tinggi. Per 2021, ada 3.115 perguruan tinggi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dengan jumlah sebanyak itu pasti ada saja kasus kecurangan serupa di perguruan tinggi lain, baik yang ketahuan maupun tidak.Â
Pertanyaannya, mengapa bisa muncul praktik seperti itu dalam dunia pendidikan kita? Perlukah kita menghapus jalur seleksi mandiri demi meminimalkan praktik korupsi di perguruan tinggi?Â
Dampak Liberalisasi dan Komodifikasi Pendidikan Tinggi
Biaya kuliah yang tiap tahun meningkat dan makin mahal sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari adanya liberalisasi sektor pendidikan yang diberlakukan sejak tahun 1999, terutama sektor pendidikan tinggi.Â
Selain pendidikan yang rasanya makin sulit dijangkau masyarakat kelas bawah, liberalisasi pendidikan juga menyebabkan kampus diperlakukan sebagai komoditas penghasil cuan.Â
Hal ini bermula sejak disahkannya PP No.60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa pendanaan perguruan tinggi dibebankan kepada masyarakat, seperti melalui SPP, biaya seleksi masuk perguruan tinggi, sumbangan hibah dan sebagainya yang diatur dalam Bab XII pasal 114 ayat 3.Â
Masalah pendanaan dipertegas lagi dalam pasal 46 ayat 1 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.Â
Sayangnya, pasal ini tidak mengatur standar terkait besaran atau persentase pendanaan pendidikan yang dibebankan kepada ketiga pihak tersebut.Â
Akibatnya, pemerintah cenderung lepas tanggung jawab dan perguruan tinggi memungut pendanaan dari masyarakat sebanyak mungkin.Â
Terlebih lagi, melalui undang-undang yang sama, pemerintah memberi otonomi pada perguruan tinggi untuk mengelola dan menentukan kebijakan sendiri.Â
UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, secara gamblang malah menyebutkan bahwa negara berlepas diri dari tanggung jawab pembiayaan perguruan tinggi, memberikan kelonggaran pada pemerintah untuk mendanai perguruan tinggi dan membebankan pembiayaan kepada masyarakat.Â
Kebijakan ini rawan dijadikan celah oleh perguruan tinggi untuk menaikkan pungutan seenak perutnya. Bisa juga jadi celah untuk menerapkan pungutan liar, terlebih pada jalur seleksi mandiri.Â
Sudah biaya kuliahnya lebih mahal (karena biasanya dikenakan uang pangkal), rentan suap dan dikorupsi pula. Kalau seperti ini caranya, bisa-bisa di kemudian hari bangku kuliah hanya bisa diakses oleh kaum menengah ke atas.Â
Pelajaran dari Kasus Suap Unila
Kampus seharusnya menjadi institusi dan role model dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, riset dan pengabdian masyarakat. Bukan dijadikan entitas bisnis atau pasar tempat jual beli bangku, ijazah dan gelar akademik.Â
Berkaca pada kasus Unila, bisakah Anda bayangkan bagaimana kualitas lulusan perguruan tinggi Tanah Air yang sejak proses seleksi masuk saja sudah berani main suap? Perubahan macam apa yang Anda harapkan dari orang-orang seperti mereka?Â
Rektor dan para petinggi kampus yang terlibat suap adalah orang-orang terpelajar dan bergelar. Namun, apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan sikap seorang intelektual.Â
Lalu, perlukah jalur seleksi mandiri dihapuskan?Â
Jika tujuannya adalah untuk mencegah agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari, menghapus jalur seleksi mandiri tidak akan menyelesaikan masalah. Kalau masalahnya ada pada sistem seleksinya yang tidak transparan dan akuntabel, berarti itulah yang harus diperbaiki, bukan malah ditiadakan. Jangan pula hanya gonta-ganti nama tapi sistemnya masih sama bobroknya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI