Terlebih jika menilik kecenderungan anak muda sekarang yang lebih menyukai pekerjaan lepas atau freelance sehingga pendapatan yang diterima tidak menentu. Sebagai tenaga kerja lepas, mereka juga tidak mendapatkan uang pensiun seperti halnya PNS.Â
Tanpa literasi keuangan yang baik, tidak mustahil jika mereka berpotensi mengalami kesulitan dan ketergantungan finansial akibat pengelolaan keuangan yang berantakan. Kondisi inilah yang dikhawatirkan dapat menciptakan 'generasi roti lapis' (sandwich generation) baru di masa depan.Â
Di samping itu, dunia ekonomi dan keuangan Indonesia juga punya PR besar terkait kesetaraan akses bagi penyandang disabilitas.Â
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, dalam acara peluncuran Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan memaparkan bahwa sebanyak 91,26% lembaga keuangan di tingkat pusat dan 88,57% lembaga keuangan di tingkat daerah  tidak memiliki petunjuk teknis mengenai operasionalisasi khusus pelayanan keuangan untuk penyandang disabilitas.Â
Sungguh miris sebenarnya, mengingat penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia, tapi masih sering terabaikan dalam pembangunan ekonomi.Â
Stigma dan prasangka bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak berdaya dan tidak mandiri membuat mereka sering kesulitan memeroleh akses keuangan yang ramah disabilitas.Â
Padahal survei WEF tahun 2018 memprediksi adanya ceruk pasar yang potensial untuk layanan keuangan bagi penyandang disabilitas senilai kurang lebih US$ 1 triliun dalam bentuk disposable income.Â
Harapan Akan Inklusivitas dan Literasi Keuangan yang Semakin Baik
Inklusi dan literasi keuangan merupakan salah satu kunci sukses pembangunan ekonomi nasional.Â
Inklusi keuangan dibutuhkan untuk mendorong distribusi pendapatan secara lebih merata sehingga mengurangi kemiskinan. Sementara untuk mewujudkan sistem keuangan yang inklusif, perlu peningkatan literasi keuangan masyarakat.Â
Inklusi dan literasi keuangan bagi perempuan tidak hanya bermanfaat dalam memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga mereka, tapi juga berkontribusi dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional maupun global yang sempat ambruk akibat pandemi Covid-19.Â
Hal ini ditunjukkan melalui hasil statistik McKinsey yang dikutip dalam laman resmi Kementerian Keuangan mengatakan kontribusi perempuan dalam perekonomian mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian global sebesar US$ 12 triliun pada tahun 2025 dan US$ 4,5 triliun untuk kawasan Asia Pasifik.Â