Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Underprivileged Millenials and Gen Zs": Anak-anak Muda yang Luput dari Perhatian Kita

8 Juni 2022   10:15 Diperbarui: 8 Juni 2022   14:07 2483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak yang hidup di daerah miskin dan kumuh-Photo by Dulana Kodithuwakku on Unsplash

Anda pasti familiar kan dengan pembagian generasi baby boomer, X, milenial, Z dan alpha? Namun, apa sih dasar dari pembagian setiap generasi itu?

Pendapat paling umum membagi setiap generasi berdasarkan tahun kelahirannya.

Mereka yang disebut milenial atau gen Y adalah anak-anak kelahiran tahun 1981-1996. Sementara generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997-2012.

Selain itu, setiap generasi digambarkan memiliki karakteristik khasnya masing-masing.

Generasi tua kerap memandang milenial dan generasi Z sebagai pemalas, kurang sopan santun, manja, dan individualis karena kehidupannya yang telah banyak dipermudah dengan kehadiran teknologi. Milenial dan gen Z juga sering dianggap lebih mementingkan gengsi dan gaya hidup dibandingkan kebutuhan jangka panjang.

Ketidakmampuan rata-rata anak muda zaman now untuk membeli rumah ditengarai karena mereka lebih suka menghabiskan uangnya untuk jajan kopi kekinian dan jalan-jalan. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar juga.

Potret milenial dan gen Z yang sering kita lihat dan diyakini oleh banyak orang, tidak lain dari cara media membingkai mereka. Cara ini berlaku juga di media sosial.

Mereka lebih sering digambarkan sebagai anak-anak muda lulusan kampus prestisius, tinggal di kota besar, bekerja di perusahaan start-up atau industri kreatif dan punya bisnis sendiri. Akhirnya, terbentuklah imaji di otak kita bahwa seperti itulah standar anak muda yang sukses dan mapan. 

Lalu, bagaimana dengan anak-anak muda yang hidupnya jauh dari apa yang biasa ditampilkan di media maupun media sosial? Ada di posisi mana mereka dalam kehidupan sosial kita hari ini? 

"Underprivileged Millenials and Gen Zs"

ilustrasi pengangguran sebagai contoh milenial dan gen Z yang underprivileged-Photo by Timur Weber from pexels
ilustrasi pengangguran sebagai contoh milenial dan gen Z yang underprivileged-Photo by Timur Weber from pexels

Supaya kawan-kawan saya segenerasi tidak melulu dicap "pemalas", kita perlu tahu bahwa dunia ini ada anak-anak milenial dan gen Z yang underprivileged. Jumlah mereka pun cukup besar.

Lalu, siapa sebenarnya milenials dan gen Z yang underprivileged ini?

Mereka adalah milenials dan gen Z yang image-nya berkebalikan dengan yang biasa ditampilkan di media atau media sosial. Mereka adalah milenials dan gen Z yang hidup tepat atau di bawah garis kemiskinan, berpendidikan rendah, mendapatkan upah di bawah standar, pengangguran atau terjebak dalam pernikahan dini. Sebagian lagi ada yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, ekonomi dan seksual, hingga mereka yang mengidap masalah kesehatan mental.

Data BPS tahun 2017 menyebutkan sekitar 20% milenial merupakan pekerja kerah biru, 25% bekerja di bidang penjualan atau sektor jasa, 7% bekerja sebagai profesional dan hanya 1,4% yang berada di posisi manajerial, dengan rata-rata upah pekerja milenial hanya di kisaran Rp 2,1 juta per bulan.

Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa lebih banyak anak muda yang bekerja di sektor informal. Penyebabnya tentu macam-macam. Bisa karena pendidikan yang rendah, keterampilan yang dimiliki tidak cukup untuk bersaing di pasar tenaga kerja, terbatasnya lapangan kerja dan sebagainya.

Terkait pendidikan, masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda masih banyak yang belum memiliki akses pendidikan tinggi.

Data dari Wittgenstein Centre for Demography and Global Human Capital (2020) menunjukkan hanya 14,4% milenial Indonesia, berusia 20-39 tahun, yang dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

ilustrasi grafik tingkat pendidikan milenial Indonesia 2020-tangkapan layar dari thejakartapost.com
ilustrasi grafik tingkat pendidikan milenial Indonesia 2020-tangkapan layar dari thejakartapost.com

Sebelumnya, OECD dalam laporannya Education at a Glance 2019 juga pernah menyebutkan pada tahun 2017, hanya sekitar 16% penduduk Indonesia usia 25-64 tahun yang berpendidikan tinggi. Jumlah ini masih di bawah rata-rata negara-negara OECD (44%) dan G20 (38%). 

ilustrasi grafik tingkat pendidikan tertinggi yang diselesaikan oleh penduduk dewasa di berbagai negara-tangkapan layar dari laporan OECD 
ilustrasi grafik tingkat pendidikan tertinggi yang diselesaikan oleh penduduk dewasa di berbagai negara-tangkapan layar dari laporan OECD 

Program S1 merupakan jenjang yang paling populer di kalangan dewasa muda, yaitu 12% dari penduduk usia 25-34 tahun merupakan lulusan sarjana.

Sementara penduduk dewasa muda Indonesia yang berpendidikan master dan doktor masih sangat rendah, yaitu hanya 1% untuk lulusan program master dan kurang dari 0,01% untuk program doktoral.

Anak-anak muda gen Z yang saat ini mulai memasuki dunia kerja juga lebih rentan menjadi pengangguran. 

Angka pengangguran usia 20-24 tahun di Indonesia per Februari 2021 mencapai 17,66% atau meningkat hingga 3,36% dibandingkan Februari 2020. Sementara untuk penduduk usia 25-29 tahun mencapai 4,94% atau meningkat 2,26% dibandingkan Februari 2020.

Milenial dan gen Z yang berasal dari keluarga miskin pun lebih mungkin untuk terjebak dalam lingkaran kemiskinan ekstrem. Hal ini diperkuat dengan hasil riset SMERU Institute tahun 2019 yang menunjukkan bahwa pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang berasal dari keluarga mampu.

Kondisi tersebut sering diistilahkan sebagai kemiskinan struktural.

Masalah kemiskinan struktural bukan hanya menimpa Indonesia, melainkan sudah menjadi masalah global, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat.

Kemiskinan struktural berkaitan pula dengan sistem politik dan pemerintahan di suatu negara. Di negara-negara Barat, AS misalnya, kemiskinan struktural juga erat kaitannya dengan isu rasisme yang telah mengakar di hampir segala lini kehidupan.

Hasil survei Deloitte tahun 2021 terhadap 14.655 milenial dan 8.273 gen Z dari 45 negara di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa Barat, Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika dan Asia Pasifik, menyebutkan 6 dari 10 gen Z dan 56% milenial mengatakan bahwa rasisme sistemik tersebar luas di kalangan masyarakat umum.

Bahkan masalah rasisme ini turut menciptakan kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan.

Dengan demikian, kita tidak bisa menyederhanakan masalah kemiskinan, pengangguran, upah rendah yang dialami anak-anak muda itu, menjadi sebatas "kurang kerja keras".

Wasana Kata

Melalui artikel ini, saya harap bisa mengurangi kesalahpahaman kita terhadap milenial dan generasi Z. Apa yang ditampilkan di media, media sosial atau distereotipkan oleh orang-orang tentang milenial dan generasi Z bisa dikatakan kurang representatif.

Gambaran tentang milenial dan gen Z yang latte-sipping, selalu update tren fesyen dan gadget terbaru, suka traveling, lulusan kampus prestisius, kerja di perusahaan start-up atau punya bisnis sendiri, sebenarnya hanya menggambarkan kaum muda urban yang berasal dari kelas menengah ke atas. 

Sayangnya, potret inilah yang kemudian dijadikan standar kesuksesan anak muda masa kini. Kita juga jadi mengeneralisasi kalau semua milenial dan gen Z pasti seperti itu. 

Jika berbeda akan dianggap "aneh", tidak sukses, kurang kerja keras, kurang berani mengambil risiko dan stigma lainnya. 

Stereotipe milenial dan gen Z juga seenaknya saja dilekatkan pada mereka. Padahal milenial dan gen Z lebih berhak untuk mendefinisikan generasinya sendiri tanpa terpengaruh oleh stereotipe yang dilanggengkan oleh siapa atau apapun, termasuk generasi sebelumnya.

Referensi : 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun