Lalu, siapa sebenarnya milenials dan gen Z yang underprivileged ini?
Mereka adalah milenials dan gen Z yang image-nya berkebalikan dengan yang biasa ditampilkan di media atau media sosial. Mereka adalah milenials dan gen Z yang hidup tepat atau di bawah garis kemiskinan, berpendidikan rendah, mendapatkan upah di bawah standar, pengangguran atau terjebak dalam pernikahan dini. Sebagian lagi ada yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, ekonomi dan seksual, hingga mereka yang mengidap masalah kesehatan mental.
Data BPS tahun 2017 menyebutkan sekitar 20% milenial merupakan pekerja kerah biru, 25% bekerja di bidang penjualan atau sektor jasa, 7% bekerja sebagai profesional dan hanya 1,4% yang berada di posisi manajerial, dengan rata-rata upah pekerja milenial hanya di kisaran Rp 2,1 juta per bulan.
Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa lebih banyak anak muda yang bekerja di sektor informal. Penyebabnya tentu macam-macam. Bisa karena pendidikan yang rendah, keterampilan yang dimiliki tidak cukup untuk bersaing di pasar tenaga kerja, terbatasnya lapangan kerja dan sebagainya.
Terkait pendidikan, masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda masih banyak yang belum memiliki akses pendidikan tinggi.
Data dari Wittgenstein Centre for Demography and Global Human Capital (2020) menunjukkan hanya 14,4% milenial Indonesia, berusia 20-39 tahun, yang dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Sebelumnya, OECD dalam laporannya Education at a Glance 2019 juga pernah menyebutkan pada tahun 2017, hanya sekitar 16% penduduk Indonesia usia 25-64 tahun yang berpendidikan tinggi. Jumlah ini masih di bawah rata-rata negara-negara OECD (44%) dan G20 (38%).Â
Program S1 merupakan jenjang yang paling populer di kalangan dewasa muda, yaitu 12% dari penduduk usia 25-34 tahun merupakan lulusan sarjana.
Sementara penduduk dewasa muda Indonesia yang berpendidikan master dan doktor masih sangat rendah, yaitu hanya 1% untuk lulusan program master dan kurang dari 0,01% untuk program doktoral.