Anak-anak muda gen Z yang saat ini mulai memasuki dunia kerja juga lebih rentan menjadi pengangguran.Â
Angka pengangguran usia 20-24 tahun di Indonesia per Februari 2021 mencapai 17,66% atau meningkat hingga 3,36% dibandingkan Februari 2020. Sementara untuk penduduk usia 25-29 tahun mencapai 4,94% atau meningkat 2,26% dibandingkan Februari 2020.
Milenial dan gen Z yang berasal dari keluarga miskin pun lebih mungkin untuk terjebak dalam lingkaran kemiskinan ekstrem. Hal ini diperkuat dengan hasil riset SMERU Institute tahun 2019 yang menunjukkan bahwa pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang berasal dari keluarga mampu.
Kondisi tersebut sering diistilahkan sebagai kemiskinan struktural.
Masalah kemiskinan struktural bukan hanya menimpa Indonesia, melainkan sudah menjadi masalah global, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat.
Kemiskinan struktural berkaitan pula dengan sistem politik dan pemerintahan di suatu negara. Di negara-negara Barat, AS misalnya, kemiskinan struktural juga erat kaitannya dengan isu rasisme yang telah mengakar di hampir segala lini kehidupan.
Hasil survei Deloitte tahun 2021 terhadap 14.655 milenial dan 8.273 gen Z dari 45 negara di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa Barat, Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika dan Asia Pasifik, menyebutkan 6 dari 10 gen Z dan 56% milenial mengatakan bahwa rasisme sistemik tersebar luas di kalangan masyarakat umum.
Bahkan masalah rasisme ini turut menciptakan kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
Dengan demikian, kita tidak bisa menyederhanakan masalah kemiskinan, pengangguran, upah rendah yang dialami anak-anak muda itu, menjadi sebatas "kurang kerja keras".
Wasana Kata
Melalui artikel ini, saya harap bisa mengurangi kesalahpahaman kita terhadap milenial dan generasi Z. Apa yang ditampilkan di media, media sosial atau distereotipkan oleh orang-orang tentang milenial dan generasi Z bisa dikatakan kurang representatif.
Gambaran tentang milenial dan gen Z yang latte-sipping, selalu update tren fesyen dan gadget terbaru, suka traveling, lulusan kampus prestisius, kerja di perusahaan start-up atau punya bisnis sendiri, sebenarnya hanya menggambarkan kaum muda urban yang berasal dari kelas menengah ke atas.Â