"Anak zaman sekarang manja bener sih, dikit-dikit healing, dikit-dikit self-reward."
"Anak zaman sekarang pada nggak ngerti sopan santun. Dibilangin orangtua bukannya dengerin malah nge-lawan."
Apakah kamu termasuk generasi milenial atau Z? Kalau ya, pernah gak dengar ucapan-ucapan seperti contoh di atas dari generasi yang lebih tua?
Sindiran-sindiran semacam itulah yang kemudian memicu "perang" antar generasi, di mana orang-orang suka mengklaim bahwa generasinya adalah generasi terbaik. Sementara generasi yang lebih muda itu lebih bobrok sehingga sering dipandang sebelah mata.
Ketika ada anak muda mengkritisi suatu kebijakan, aturan atau tatanan sosial yang dibuat oleh generasi tua, suara mereka kadang diabaikan. Mereka dianggap masih "anak kemarin sore" dan tidak paham masalah orang dewasa. Padahal yang lebih dewasa juga belum tentu paham dan punya solusi yang lebih baik. Betul kan, teman-teman?
Seperti yang dialami oleh aktivis lingkungan asal Swedia, Gretta Thunberg, saat menyuarakan masalah krisis iklim dan pemanasan global. Tahu apa respon orang-orang atas kritik yang dia suarakan?
Sebagian orang mencibir dan menganggap remaja berusia 19 tahun itu tidak paham masalah orang dewasa dan cuma bisa koar-koar. Ada juga yang menunjukkan sikap anti sains dengan menyebut bahwa perubahan iklim itu hoax. Sementara sebagian lainnya tetap mendukung.
Padahal nih ya, seandainya kita mau menengok pada sejarah, peradaban umat manusia tidak terlepas dari peran generasi muda. Di Indonesia, pergerakan anak muda bahkan sudah ada gaungnya sejak sebelum kemerdekaan.
Peristiwa Sumpah Pemuda berawal dari kesadaran para pemuda pelajar STOVIA untuk berorganisasi dengan membentuk organisasi Boedi Oetomo. Kesadaran berorganisasi ini pun menyebar hingga membangkitkan semangat pelajar dan mahasiswa Hindia yang saat itu sedang bersekolah di Belanda.
Masih ingat peristiwa Rengasdengklok? Coba bayangkan seandainya golongan muda, seperti Sukarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh tidak menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan. Sejarah kemerdekaan kita mungkin akan berbeda.
21 Mei 1998, rezim Orde Baru yang sudah 32 tahun berkuasa tumbang, salah satunya juga karena peran anak-anak muda mahasiswa. Jika saat itu para mahasiswa tidak bergerak, entah kapan kita bisa lepas dari cengkeraman rezim yang otoriter dan militeristik itu.
Apa yang telah dicapai oleh para pendahulu, hari ini dilanjutkan oleh anak-anak muda dengan memanfaatkan bakat dan kemampuannya dalam berbagai bidang. Ada yang berprestasi di bidang olahraga, saintek, seni dan sebagainya.
Lalu, sejak kapan sih, ada saling sindir antar generasi seperti ini?
Video berjudul Nyinyiran Si Tua kepada yang Muda: Analisis "Perang" Antar-Generasi yang tayang di kanal YouTube TirtoID (8/4/2022), mengungkapkan bahwa sindiran dari generasi tua kepada generasi muda sudah berlangsung sejak zaman Aristoteles.
Filsuf Yunani yang hidup pada abad ke-4 SM itu pernah berkomentar begini tentang anak muda, "Huh, anak-anak muda ini mengira mereka tahu segalanya. Dan mereka percaya diri sekali dengan sikapnya itu."
Berikutnya ada Horatius, penyair zaman Imperium Romawi, yang pada abad ke-1 SM pernah berkomentar begini, "Hm, anak-anak muda ini tidak bisa meramalkan hal-hal yang berguna, ya? Hobinya cuma menghambur-hamburkan uang."
Pandangan miring tentang anak muda kadang tidak hanya sekadar kata-kata atau ucapan. Ia juga bisa berkembang menjadi baku hantam, revolusi bahkan menjadi cikal bakal berdirinya suatu negara, seperti peristiwa Rengasdengklok yang telah saya sebut di atas.
Jadi, kita harus bersikap seperti apa nih, supaya antara generasi tua dan muda gak terus-menerus saling sindir?
Pertama, kita harus pahami dulu kalau setiap generasi itu punya tantangannya masing-masing.
Eyang-eyang kita zaman dulu belum mengenal listrik, moda transportasi modern apalagi internet, sehingga pekerjaan-pekerjaan dijalankan secara manual dengan tenaga manusia atau hewan.
Media komunikasi dan informasi juga masih terbatas. Mau tahu kabar anggota keluarga, sahabat atau kekasih yang ada di kota, pulau atau negara lain saja mesti menunggu berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Di zaman kita, teknologi lebih canggih. Semua serba mudah. Namun, bukan berarti tanpa masalah.
Perkembangan internet dan media sosial membuat kita harus berhadapan dengan kejahatan dunia maya, seperti perundungan siber (cyberbullying), pencurian data pribadi, pornografi, scamming, doxing dan sebagainya.
Smartphone yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat modern, berisiko mengakibatkan kecanduan dan mengganggu kesehatan mental jika kita tidak mampu mengendalikan diri.
Tantangan zaman ini bahkan bukan hanya dihadapi oleh anak-anak muda melainkan juga orangtua mereka. Â
Stigma bahwa generasi muda sekarang makin rusak moralnya dan jauh dari Tuhan sebenarnya tergantung bagaimana pendidikan yang ia dapatkan di rumah. Masalahnya, ada orangtua yang sudah tahu zamannya sekarang seperti ini tapi anaknya terlalu dibebaskan. Memberi kebebasan tapi lupa mengajarkan tanggung jawab.
Generasi tua harus menyadari bahwa ada nilai atau pandangan di zaman mereka yang sudah usang bagi generasi muda zaman sekarang.
Contoh, anak-anak muda usia 25 tahun yang lagi mengalami quarter-life crisis sering dikomentari begini oleh tantenya kalau ada acara kumpul keluarga, "Kamu kapan nikahnya? Tante tuh dulu seusia kamu udah gendong anak dua, lho."
Bagi generasi milenial dan Z, menempuh pendidikan, berkarier, menekuni hobi lebih diprioritaskan daripada menikah. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan akses informasi yang lebih baik membuat pola pikir mereka lebih realistis.
Biaya hidup yang semakin mahal, masalah lingkungan, kesadaran akan kesehatan mental dan reproduksi, adalah beberapa hal yang menjadi pertimbangan anak muda sekarang tidak ingin cepat-cepat menikah. Toh, anak muda Sekarang juga banyak kok, yang paham kalau menikah itu gak cuma modal cinta, apalagi modal dengkul.
Meski generasi milenial dan Z sering distigma negatif, sebenarnya mereka lebih melek soal isu-isu sosial, lho! Isu-isu lingkungan, kesehatan mental, kesetaraan gender adalah isu-isu yang akrab dengan mereka. Itu sebabnya mereka dekat dengan kegiatan aktivisme, terutama aktivisme digital.
Wasana Kata
Setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing. Oleh karena itu, berhentilah menganggap generasinya lebih superior dan mendiskreditkan generasi berikutnya.
Daripada cuma menyindir, generasi tua sebaiknya bisa menjadi sosok orangtua, guru dan role model yang bijaksana bagi generasi muda.
Kami, anak-anak muda, tidak minta diceramahi tapi diajak diskusi. Kami butuh dirangkul bukan dipukul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H