Kasus seorang ibu muda, Kanti Utami (35), di Brebes yang menggorok ketiga anaknya dengan pisau kater turut menyita perhatian publik.
Reaksi warganet pun terbagi dua. Sebagian merasa prihatin dan menganggap bahwa pelaku adalah korban dari kemiskinan struktural. Sementara sebagian lainnya mengecam tindakan pelaku karena apa pun alasannya, pembunuhan tetap salah. Apalagi yang dibunuh adalah anak sendiri.
Tindakan yang dilakukan oleh ibu muda di Brebes ini tergolong ke dalam filisida altruistik atau altruistic filicide.Â
Filisida altruistik dapat didefinisikan sebagai salah satu sub-klasifikasi pembunuhan anak yang dilakukan oleh orangtua asuh atau orangtua tiri dengan alasan untuk menyelamatkan anak-anak agar tidak merasakan kesulitan dan penderitaan hidup.
Ada lima klasifikasi filisida atau filicide yang diperkenalkan oleh Phillip Resnick pada tahun 1969 setelah me-review 131 kasus filisida yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan dalam literatur psikiatri dengan rentang waktu antara tahun 1751-1967.
Ada pun lima klasifikasi filisida itu antara lain sebagai berikut:
- Filisida altruistik
- Filisida psikotik akut (acutely psychotic filicide) adalah orangtua pengidap psikosis yang membunuh anak-anak tanpa alasan yang rasional
- Filisida atas anak yang tidak diinginkan (unwanted child filicide) adalah orangtua yang membunuh anak-anak yang dianggap sebagai penghalang. Kategori ini juga mencakup orangtua yang mendapat manfaat tertentu dari kematian anak, seperti mewarisi uang pertanggungan asuransi, orangtua tiri yang membunuh anak tirinya agar harta pasangan hanya jatuh kepadanya dan anak kandungnya (sinetron vibe mode: on) dan sebagainya.
- Filisida yang tidak disengaja (accidental filicide) adalah orangtua yang secara tidak sengaja membunuh anak-anak sebagai akibat dari pelecehan
- Filisida atas dasar balas dendam pada pasangan (spouse revenge filicide) orangtua yang membunuh anak-anak sebagai bentuk balas dendam pada pasangan, misal karena pasangan melakukan perselingkuhan atau pengabaian.
Sejak tahun 1950, tingkat pembunuhan anak meningkat tiga kali lipat dan menjadi salah satu dari lima penyebab utama kematian pada anak-anak usia 1-14 tahun.
Di Amerika Serikat, sebanyak 311 dari 578 atau sebesar 53,8% anak di bawah usia 5 tahun dibunuh oleh orangtuanya pada tahun 2004.Â
Dari tahun 1976 hingga 2004, 30% dari seluruh anak di bawah usia 5 tahun yang menjadi korban pembunuhan, dibunuh oleh ibu mereka. Sedangkan sebanyak 31% dibunuh oleh ayah.
Seorang ibu, yang selama ini dicitrakan penuh kelembutan, kasih sayang dan mampu berkorban apa saja demi anak, berubah menjadi seorang pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap anak. Bagaimana bisa? Apa sebabnya?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang ibu berisiko tinggi melakukan filisida, antara lain kehidupan yang terisolasi secara sosial, kemiskinan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mereka yang telah menikah, pengangguran, kecanduan alkohol dan pernah menjadi korban kekerasan di masa kecil juga rentan menjadi pelaku filisida.
Pentingnya Memahami Kondisi Fisik dan Psikis Seorang Ibu
Ketika hamil, perempuan mengalami perubahan fisik dan psikis, seperti berat badan bertambah, pergerakan tubuh tidak selincah saat belum hamil, sering mual, muntah-muntah, jadi lebih emosional dan sebagainya.
Perasaan cemas dan bingung juga sering dialami oleh perempuan yang sedang hamil atau akan melahirkan. Kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan psikosis. Risiko bisa lebih tinggi jika sebelumnya ibu hamil punya riwayat masalah kesehatan mental serius.
Setelah melahirkan, beban perempuan akan bertambah dengan kesibukan mengurus anak. Ditambah lagi, jika ia juga bekerja atau malah berperan sebagai pencari nafkah utama.
Beban ganda yang dijalani oleh seorang ibu inilah yang membuat mereka rentan mengalami kelelahan fisik dan mental. Kondisi tersebut bisa mengantarkan seorang ibu pada "krisis identitas".
Ia akan merasa bahwa ia melakukan ini itu untuk suami dan anaknya, hidupnya adalah untuk suami dan anaknya, tapi untuk diri sendiri mana? Seolah-olah seorang ibu tidak berhak punya waktu untuk diri sendiri.
Keadaannya bisa jadi lebih buruk apabila si ibu tidak memiliki support system yang baik.Â
Suami yang kasar dan "lancang tangan", mertua yang suka ikut campur dan selalu menyalahkan, ipar yang suka julid, masyarakat yang terlalu mudah menghakimi, adalah beberapa hal yang dapat memperburuk kondisi psikis seorang ibu.
Dalam kasus ibu Kanti, ia diduga mengalami depresi, meski hal ini masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh ahli kejiwaan.
Ibu Kanti mengaku bahwa sejak kecil ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Bahkan dikurung oleh orang-orang di sekitarnya. Ketika berumah tangga, suami sering membentaknya. Suami pun sering menganggur sehingga tidak dapat menafkahi keluarga.Â
Keadaan ekonomi keluarga yang carut-marut, KDRT dan luka akibat trauma masa kecil yang---barangkali---belum sembuh, tentu menjadi kombinasi yang menghancurkan mental ibu Kanti.
Dengan segala kesulitan yang menimpanya itulah, ia tidak ingin anak-anaknya mengalami hal yang sama sehingga timbul pikiran bahwa kematian lebih baik bagi mereka.
Penutup
Artikel ini ditulis bukan untuk membenarkan tindak pembunuhan pada anak, melainkan untuk memberi sudut pandang lain yang selama ini jarang dibicarakan.
Seperti pada kasus Ibu Kanti di Brebes, kita jadi belajar bahwa trauma masa kecil akibat perlakuan orangtua atau orang dewasa di sekitarnya ternyata bisa terbawa sampai dewasa dan dilampiaskan kembali pada anak. Apalagi jika ia memiliki pasangan yang sama toksiknya dengan orangtuanya dan terjebak pada kondisi sosial-ekonomi yang buruk, seperti kemiskinan dan pengangguran. Ibarat api kecil disiram bensin.
Beban fisik dan psikis yang ditanggung seorang ibu, sejak hamil hingga melahirkan sudah berat. Mengurus anak, rumah tangga, pekerjaan (jika bekerja), bukan pula hal yang mudah.
Tanpa support system yang baik, kelelahan yang dialami seorang ibu bisa berpengaruh pada kesehatan fisik maupun mentalnya. Jika itu yang terjadi, siapa lagi pihak yang paling rentan jadi sasaran kekerasan bahkan pembunuhan kalau bukan anak sendiri?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H