Kelangkaan minyak goreng yang telah berlangsung berbulan-bulan menyebabkan harganya meroket. Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah guna menstabilkan harga dan memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional.
Terbaru, pemerintah memutuskan untuk mencabut HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng kemasan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022. Sementara untuk minyak goreng eceran, pemerintah masih menetapkan HET di angka Rp 14.000/liter atau Rp 15.500/kg.
Penyesuaian HET minyak goreng kemasan menyebabkan harga minyak goreng melambung tinggi dengan harga rata-rata di atas Rp 23.000. Meski HET telah dicabut, ketersediaan minyak goreng di sejumlah ritel masih kosong.
Kondisi ini membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa minyak goreng langka dan mahal, padahal Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia?
Penyebab Minyak Goreng Langka dan Mahal
Hasil kajian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) seperti yang dikutip dalam beritasatu.com (18/02/2022), menunjukkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan harga minyak goreng. Salah satunya adalah kenaikan harga CPO dunia yang mencapai 36,30% (year on year) selama 2021.
Adapun empat faktor utama yang memicu kenaikan harga CPO dunia adalah penurunan produksi CPO di negara produsen akibat pandemi Covid-19 dan gangguan cuaca. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia pun mengalami penurunan produksi sebesar 0,31%, yaitu dari 47,03 juta ton di tahun 2020 menjadi 46,88 juta ton di tahun 2021.
Kedua, adanya kenaikan permintaan CPO di pasar domestik maupun ekspor. Permintaan minyak sawit dalam negeri saja telah mengalami kenaikan hingga 6%, dari 17,34 juta ton pada tahun 2020 menjadi 18,42 juta ton pada 2021.
Ketiga, kenaikan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas dan batu bara mendorong industri untuk beralih dari menggunakan energi fosil ke energi biofuel atau bahan bakar nabati (BBN).
Keempat, terjadinya gejala commodity supercycle di masa pandemi Covid-19 yang melahirkan fenomena spekulasi di pasar komoditas, termasuk pasar CPO.
Pandangan lain tentang kelangkaan minyak goreng yang disampaikan oleh ekonom, Faisal Basri adalah adanya pergeseran konsumsi CPO dalam negeri dari industri pangan ke industri biodiesel. Kondisi ini terjadi sejak tahun 2020 ketika pemerintah menerapkan program B-20 yang mewajibkan pencampuran 20% biodiesel dengan bahan bakar minyak jenis solar.
Akibatnya, konsumsi CPO untuk industri biodiesel naik dari 5,83 juta ton pada tahun 2019 menjadi 7,23 ton pada 2020. Sementara konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020.
Kebijakan ini diperkirakan akan semakin meningkatkan konsumsi CPO untuk industri biodiesel melalui program B-30 (kandungan biodiesel 30% dalam bahan bakar minyak). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan konsumsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai 43% dari konsumsi CPO dalam negeri pada 2022 ini.
Isu Pangan, Energi dan Lingkungan
Minyak dan inti sawit, banyak dimanfaatkan untuk membuat produk pangan karena stabilitasnya dalam bentuk semi padatan pada suhu ruang. Oleh karena itu, ia juga digunakan sebagai pengganti lemak hewani dan minyak nabati yang karakteristiknya berbeda dengan kelapa sawit. Kelebihan lainnya adalah minyak sawit dan turunannya memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak jagung, minyak canola dan minyak rapeseed.
Berbagai produk pangan yang berasal dari olahan minyak sawit antara lain minyak goreng, margarin, shortening, lemak dalam makanan manis, krim, filled milk, Cocoa Butter Alternatives (CBE/CBS/CBR) dan berbagai produk emulsifier lainnya.
Selain produk olahan pangan, minyak sawit juga digunakan dalam produk kebersihan (oleokimia), seperti sabun, sampo, kosmetik dan hand sanitizer.
Pemanfaatan terbesar kelapa sawit adalah sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, terutama di negara-negara yang masyarakatnya memiliki budaya atau kebiasaan makan makanan yang digoreng. Itu sebabnya minyak goreng merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia.
Dikutip dari katadata.com (28/01/2022), Gapki memprediksi akan terjadi kenaikan produksi CPO pada tahun 2022 hingga 49 juta ton atau 4,52%.
Sementara konsumsi CPO dalam negeri akan naik 11,78% menjadi 20,59 juta ton dengan rincian: 9,6 juta ton atau kenaikan sebesar 7,21% untuk industri pangan, 2,16 juta ton atau penurunan sebesar 1,59% untuk industri oleokimia dan untuk industri biodiesel akan mengalami lonjakan drastis sebesar 20,26% menjadi 8,83 juta ton.
Pemanfaatan CPO untuk industri biodiesel yang terus meningkat sebenarnya tidak terlepas dari komitmen pemerintah terkait pengurangan emisi karbon untuk mencapai target emisi bersih. Salah satunya adalah dengan menggenjot penggunaan biodiesel atau BBN sebagai bahan bakar ramah lingkungan pengganti bahan bakar fosil. Sayangnya, upaya ini dinilai berpotensi mengganggu industri pangan dan dituding sebagai biang keladi kelangkaan minyak goreng.
Alih-alih lebih ramah lingkungan, konsumsi dan permintaan yang tinggi terhadap CPO sebagai BBN juga ditengarai menjadi penyebab tingginya laju deforestasi hutan. Sebabnya adalah kenaikan permintaan dan konsumsi CPO akan menyebabkan alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit kian masif.
Padahal hutan, (terutama hutan gambut), merupakan penyerap karbon terbesar. Jika semakin banyak hutan rusak dan beralih fungsi, penggunaan biodiesel dinaikkan sampai B-100 pun percuma karena produksi emisi karbon akan lebih besar.
Penutup
Perihal kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng merupakan masalah kompleks sehingga penyelesaiannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Perlu ada pembatasan penggunaan kelapa sawit untuk industri biodiesel agar bisa lebih diprioritaskan untuk industri pangan, termasuk minyak goreng yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia pun memungkinkan adanya pemanfaatan berbagai jenis tanaman lain sebagai bahan baku industri biodiesel atau BBN yang ramah lingkungan, seperti tanaman jarak, nyamplung, ketela pohon (singkong), kelapa dan sebagainya. Dengan demikian, industri biodiesel bisa mengurangi ketergantungannya pada kelapa sawit.
Kita juga perlu adanya regulasi yang tegas dan praktik perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan untuk menekan laju deforestasi, seperti menanam tanaman lain di lahan perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitas lahan dan biodiversitas (model agroforestri).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H