Belum lagi kalau ada yang membujuk untuk bertahan demi anak. Padahal bertahan dalam hubungan pernikahan yang penuh kekerasan juga tidak baik bagi kondisi psikisnya.
Bayangkan, si anak setiap hari harus melihat ibunya dipukul, ditendang, dihina dengan kata-kata kasar. Bagaimana kalau tidak hanya ibunya tetapi dia juga yang jadi korban kekerasan ayahnya?
Kedua, mereka tidak siap menjanda karena ketergantungan ekonomi.
Bagi ibu pekerja, bercerai dan menjanda mungkin bukan sesuatu yang terlampau berat. Namun, bagi yang tidak memiliki penghasilan sendiri, status janda bisa jadi momok. Apalagi jika selama menikah, keuangan rumah tangga juga dikontrol oleh suami.
Janda yang berdaya dan mandiri secara finansial pun rupanya masih bisa jadi omongan orang, "Dia kan nggak punya suami. Kok bisa beli ini itu?"
Ketiga, sistem hukum yang bias gender.
Misalnya, dalam hal pembagian harta pasca perceraian, istri bisa jadi tidak mendapatkan apa pun hanya karena ia adalah ibu rumah tangga yang dianggap tidak berkontribusi dalam pengumpulan harta keluarga.
Keempat, rentan pelecehan seksual.
Pandangan yang kerap menseksualisasi janda membuat mereka terpaksa menyembunyikan statusnya untuk menghindarkan diri dari pelecehan. Mereka telah berusaha menjaga diri, tetapi ulah segelintir laki-laki "nakal" malah membuat mereka semakin dicap sebagai perempuan penggoda.
Penutup
Budaya patriarki telah memenjarakan perempuan melalui apa yang masyarakat sebut sebagai "kodrat perempuan".
"Kodrat perempuan" yang dimaksud di sini adalah perempuan harus menikah dan mempertahankan pernikahannya, tak peduli setoksik apa pun pernikahan itu. Perempuan disebut sebagai kunci keharmonisan dan keutuhan rumah tangga. Itu sebabnya ketika perempuan memilih bercerai dan menjanda, ia dianggap telah melanggar kodrat.