Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Fenomena Keminggris dan Pentingnya Berbahasa Sesuai Konteks

28 Juni 2021   17:01 Diperbarui: 29 Juni 2021   06:04 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi trigatra bangun bahasa | sumber gambar: core.ac.uk

Fenomena keminggris atau bahasa gado-gado ini memang membuat beberapa orang risih. Ada yang beranggapan kalau orang yang keminggris itu terkesan sombong dan sok gaul. 

Ada pula yang beranggapan kalau kebiasaan tersebut menandakan seseorang tidak nasionalis dan merusak tatanan bahasa Indonesia itu sendiri.

Barangkali kita jadi bertanya-tanya, kenapa sih orang keminggris? Benarkah keminggris dilakukan untuk memberi kesan keren dan intelek?

Pertama, kebiasaan

ilustrasi Cinta Laura, artis yang biasa berbicara dengan bahasa gado-gado | sumber gambar: hot.detik.com
ilustrasi Cinta Laura, artis yang biasa berbicara dengan bahasa gado-gado | sumber gambar: hot.detik.com

Berbicara tentang pesohor tanah air yang gemar mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, kita tidak bisa tidak menyebut nama Cinta Laura. 

Saat Cinta Laura bicara dalam bahasa Indonesia pun logatnya masih terdengar bule banget akibat gaya bicaranya itulah ia sering diolok-olok.

Sebenarnya hal itu terbentuk karena kebiasaan. Cinta Laura biasa hidup di luar negeri, ditambah lingkungan pendidikan dan pekerjaannya yang banyak diisi oleh penutur bahasa Inggris sehingga ia lebih familiar dan terbiasa mendengar serta berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

Ketika ada orang berbicara padanya dalam bahasa Indonesia, ia mungkin paham apa maksudnya. Tapi karena bingung bagaimana meresponnya dalam bahasa Indonesia secara utuh, akhirnya dicampur dengan bahasa Inggris.

Hal serupa juga sering dialami oleh anak-anak yang sejak kecil bersekolah di sekolah internasional. 

Kedua, baru belajar bahasa Inggris

ilustrasi belajar bahasa Inggris | sumber gambar: ilmubahasainggris.com
ilustrasi belajar bahasa Inggris | sumber gambar: ilmubahasainggris.com

Bahasa Inggris itu susah. Untuk bisa menguasainya, dibutuhkan keberanian dan rasa percaya diri untuk tidak malu atau takut salah. 

Selain itu, orang yang belajar bahasa Inggris juga harus kuat mental dalam menghadapi oknum-oknum yang mulutnya lebih maju daripada otaknya.

Orang yang sedang belajar bahasa asing dan belum lancar, biasanya akan mencampuradukkan bahasa asing yang sedang dipelajari dengan bahasa ibunya. 

Bisa juga dilakukan ketika seseorang lupa atau tidak tahu terjemahan yang tepat dari suatu kata. 

Misalnya, ia ingin mengatakan "I want to eat". Tapi karena ia lupa atau tidak tahu bahasa bahwa bahasa Inggris dari kata "makan" adalah "eat" akhirnya ia mengucapkannya menjadi "I want to makan".

Ketiga, menunjukkan status dan identitas

Wikipediawan pencinta (bukan pecinta) bahasa Indonesia, Ivan Lanin, mengatakan bahwa pemakaian bahasa gado-gado ini dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Fenomena ini rupanya juga sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda bahkan dilakukan oleh para pendiri bangsa.

Bedanya kalau dulu yang dicampuradukkan adalah bahasa Belanda dengan bahasa daerah. Sekarang yang dicampuradukkan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Bahasa juga mencerminkan kelompok sosial (usia, kelas sosial ekonomi dan sebagainya) dan segala perubahan di dalamnya. 

Hal inilah yang terjadi pada anak-anak muda Jakarta Selatan yang berasal dari keluarga kelas menengah ke atas dan tinggal di lingkungan yang kosmopolit. 

Dengan latar belakang sosial dan lingkungan seperti itu, mereka punya akses ke media-media berbahasa asing, sekolah internasional hingga wisata ke luar negeri.

Tidak hanya terjadi pada anak-anak muda Jaksel sebenarnya, tapi juga anak-anak muda daerah lain yang punya sumber daya ekonomi berlebih.

Kondisi ekonomi yang mapan ini pulalah yang membuat kaum priayi pribumi di masa lampau berkesempatan mengenyam pendidikan, membaca koran-koran atau buku-buku berbahasa Belanda bahkan bergaul dengan orang-orang Belanda sehingga memiliki kecakapan bahasa asing yang lebih baik.

Kastanisasi dalam Berbahasa

Orang Indonesia itu sebenarnya terlatih untuk menjadi multilingual. Tidak seperti orang Amerika, misalnya, yang hanya bisa bahasa Inggris, orang Indonesia menguasai sedikitnya dua bahasa : bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

Sayangnya, tanpa disadari, kita telah ikut andil dalam menciptakan kastanisasi berbahasa.

Bahasa Inggris kerap dinilai lebih tinggi kastanya dibandingkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Inilah sebabnya menyisipkan istilah-istilah dalam bahasa Inggris---padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia---membuat seseorang merasa lebih keren dan intelek.  

Jangankan bahasa Inggris, antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah pun, bahasa Indonesia masih dinilai lebih berkelas dibandingkan bahasa daerah.

Mereka yang berbicara dengan bahasa daerah sering dianggap kampungan. Inilah sebabnya ada saja  orang daerah yang ketika merantau ke ibu kota merasa inferior jika gaya bicaranya masih kental dengan dialek daerah asalnya.

Menerapkan Trigatra Bangun Bahasa Secara Seimbang

ilustrasi trigatra bangun bahasa | sumber gambar: core.ac.uk
ilustrasi trigatra bangun bahasa | sumber gambar: core.ac.uk

Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing

Inilah bunyi trigatra bangun bahasa yang didengungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 

Pentingnya berbahasa Indonesia juga ditegaskan dalam Sumpah Pemuda poin ketiga, "Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia".

Mengapa harus mengutamakan bahasa Indonesia?

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional pemersatu bangsa sekaligus identitas kita sebagai warga negara Indonesia. 

Mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah kewajiban kita sebagai orang Indonesia untuk menjaga marwah bahasa nasional kita. 

Kan aneh, masa orang Indonesia tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar?

Mengapa harus melestarikan bahasa daerah?

Kita patut bangga dan bersyukur atas kekayaan dan keragaman budaya yang kita miliki, termasuk bahasa daerah. 

Kita memiliki 718 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Dari satu bahasa daerah saja bisa terdiri dari beragam dialek. Misalnya, bahasa Jawa yang memiliki ragam dialek Mataraman atau Jawa standar, Banyumasan, Suroboyoan dan sebagainya.

Dengan jumlah bahasa daerah sebanyak itu, apakah Anda mau jika kekayaan bahasa daerah kita satu per satu punah dan tinggal cerita?

Mengapa harus menguasai bahasa asing?

Menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris dapat memberi kita akses ke sumber-sumber pengetahuan yang lebih luas. 

Selain itu, kita juga bisa memanfaatkan kemampuan bahasa asing untuk memperkenalkan keindahan, keragaman dan keunikan Indonesia kepada dunia.

Dengan demikian, kastanisasi dalam berbahasa itu seharusnya tidak ada dan tidak perlu ada.

Keminggris pun sebenarnya tidak masalah selama kita mampu menggunakannya sesuai konteks tempat dan kepada siapa itu ditujukan. Karena berbahasa juga terkait dengan kesopanan dan kepantasan.

Ibarat dalam bahasa Jawa di mana ada tingkatan ngoko, madya dan krama. Bahasa Jawa ngoko bisa digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih muda, orang yang pangkat atau status sosialnya lebih rendah dan teman sebaya. Tapi ketika berbicara dengan orangtua, guru, orang yang dihormati, kita harus menggunakan bahasa Jawa krama yang lebih halus dan sopan.

Begitu pula dengan bahasa gado-gado keminggris. Jika dituturkan sebatas kepada teman setongkrongan di kedai kopi, tentu tidak masalah karena konteksnya adalah percakapan informal. Tapi ketika dituturkan dalam forum resmi, tentu saja tidak pantas.

Lalu, bagaimana dengan ragam bahasa tulis?

Ya, tergantung apa yang Anda tulis. Kalau Anda hanya menulis status di media sosial, di blog pribadi atau di diary, silakan saja. Tapi kalau Anda menulis di media cetak atau elektronik, menulis karya ilmiah, esai akademik, laporan resmi, bahasa gado-gado jelas tidak layak digunakan.

Itulah sebabnya kita perlu belajar ragam formal bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan. Toh, banyak juga kan istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia? 

Di tongkrongan pun, Anda tidak bisa bebas keminggris di semua tongkrongan. Kalau tongkrongan Anda isinya anak-anak gaul ibu kota atau kaum milenial kelas menengah terpelajar---yang telah banyak bersentuhan dengan gaya hidup masyarakat modern---Anda mau keminggris, silakan.

Tapi bagaimana kalau Anda nongkrongnya dengan gondes-gondes*) pelosok (m)Bantul? Mau cas-cis-cus pakai wicas wicis? Lak yo nggatheli.

Referensi : 1, 2, 3 

Catatan : 

*) Gondes adalah akronim dari "Gondrong Ndesa". Istilah ini populer di kalangan kawula muda DI Yogyakarta untuk menyebut pemuda desa yang dinilai berpenampilan norak. Soal rambut gondrong sepertinya hanya bonus karena kenyataannya banyak juga gondes berambut cepak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun