Hal inilah yang terjadi pada anak-anak muda Jakarta Selatan yang berasal dari keluarga kelas menengah ke atas dan tinggal di lingkungan yang kosmopolit.Â
Dengan latar belakang sosial dan lingkungan seperti itu, mereka punya akses ke media-media berbahasa asing, sekolah internasional hingga wisata ke luar negeri.
Tidak hanya terjadi pada anak-anak muda Jaksel sebenarnya, tapi juga anak-anak muda daerah lain yang punya sumber daya ekonomi berlebih.
Kondisi ekonomi yang mapan ini pulalah yang membuat kaum priayi pribumi di masa lampau berkesempatan mengenyam pendidikan, membaca koran-koran atau buku-buku berbahasa Belanda bahkan bergaul dengan orang-orang Belanda sehingga memiliki kecakapan bahasa asing yang lebih baik.
Kastanisasi dalam Berbahasa
Orang Indonesia itu sebenarnya terlatih untuk menjadi multilingual. Tidak seperti orang Amerika, misalnya, yang hanya bisa bahasa Inggris, orang Indonesia menguasai sedikitnya dua bahasa : bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Sayangnya, tanpa disadari, kita telah ikut andil dalam menciptakan kastanisasi berbahasa.
Bahasa Inggris kerap dinilai lebih tinggi kastanya dibandingkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Inilah sebabnya menyisipkan istilah-istilah dalam bahasa Inggris---padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia---membuat seseorang merasa lebih keren dan intelek. Â
Jangankan bahasa Inggris, antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah pun, bahasa Indonesia masih dinilai lebih berkelas dibandingkan bahasa daerah.
Mereka yang berbicara dengan bahasa daerah sering dianggap kampungan. Inilah sebabnya ada saja  orang daerah yang ketika merantau ke ibu kota merasa inferior jika gaya bicaranya masih kental dengan dialek daerah asalnya.
Menerapkan Trigatra Bangun Bahasa Secara Seimbang
Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing