Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan, Kultur Gosip, dan Perbedaan dalam Menghadapi Konflik

5 Mei 2021   10:06 Diperbarui: 5 Mei 2021   15:00 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan sedang bergosip tentang perempuan lain | photo by Barbara Franzova from pixabay

"Lidah adalah pedang untuk perempuan, dan mereka tidak akan membiarkannya berkarat"

(Peribahasa Cina)

Tetangga adalah orang terdekat kedua (setelah keluarga) yang akan membantu jika terjadi sesuatu pada kita. Oleh karena itu, hubungan baik antar tetangga memang harus dipelihara.

Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam kehidupan bertetangga agar tercipta keharmonisan dan kerukunan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus memuliakan tetangganya".

Tetangga tidak hanya berlaku untuk menyebut mereka yang tempat tinggalnya berdekatan dengan kita. Namun bisa juga untuk menyebut tetangga meja sekolah, tetangga meja kerja, tetangga kamar kos, tetangga WA grup, bahkan kita berkompasiana pun sudah seperti hidup bertetangga di kampung atau perumahan.

Yang namanya tetangga pasti macam-macam sifatnya. Ada yang baik, ada juga yang nyebelin.

Ada yang ramah dan pengertian, ada juga yang ramah di depan tapi menjadikan kita sebagai omongan di belakang.

Lapak tukang sayur adalah lokasi favorit untuk bergosip.

Bergosip juga bisa dilakukan bergerombol di teras atau halaman rumah salah satu tetangga.

Bagi yang bergosip, kegiatan tersebut terasa asyik dan seru.

Tapi bagi mereka yang jadi omongan, hal tersebut membuat mereka tidak nyaman.

Di sekolah atau di kantor, menjadi omongan dari teman sekelas atau rekan kerja bisa membuat kita insecure.

Hal ini bisa juga mempengaruhi prestasi belajar atau kinerja seseorang.

Kalau yang sudah parah, bisa membuat tidak betah akhirnya terpikir untuk pindah kerja.

Kebiasaan bergosip memang sering dilekatkan pada perempuan. Lalu, apakah laki-laki tidak bergosip?

Hasil studi mengenai gosip melalui ponsel yang dilakukan oleh Social Issues Research Center di Inggris menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama suka bergosip.

Hanya saja perempuan meluangkan lebih banyak waktunya untuk bergosip dibanding laki-laki.

Perempuan menggunakan 67% waktu mereka untuk bergosip. Sementara laki-laki hanya menggunakan 55%.

Temuan lainnya juga mengungkapkan bahwa perempuan lebih mudah mengaku kalau mereka sedang bergosip daripada laki-laki.

Laki-laki kalau ditanya apakah ia sedang bergosip atau tidak, suka ngeles bilang kalau mereka hanya berbincang-bincang dengan teman.

Penelitian lain oleh Adam C. Davis dari University of Ottawa, Kanada, mengungkapkan topik pembicaraan yang disukai perempuan saat bergosip adalah tentang penampilan fisik dan kehidupan sosial orang lain. Sementara laki-laki lebih senang berbicara tentang prestasi, kekayaan dan kekuatan fisik.

Laki-laki lebih sering berbagi cerita kepada pasangannya, sedangkan perempuan berbagi cerita kepada pasangan dan teman-temannya sesama perempuan.

Hubungan Antara Kultur Gosip Dengan Cara Menghadapi Konflik

ilustrasi perempuan dan laki-laki berkonflik | photo by Gerard Altmann from pixabay
ilustrasi perempuan dan laki-laki berkonflik | photo by Gerard Altmann from pixabay
Ketika perempuan sedang berkonflik atau merasa tidak senang pada perempuan lain, mereka cenderung melakukan konfrontasi secara tidak langsung atau indirect aggression.

Dan gosip adalah salah satu bentuk dari indirect aggression itu sendiri.

Gosip dapat dijadikan senjata untuk menyerang perempuan lain, terutama dalam hal perebutan pasangan dan kekuasaan.

Gosip dimanfaatkan untuk membicarakan hal-hal yang buruk tentang perempuan lain yang dianggap sebagai "saingan" atau "musuh".

Selanjutnya hal tersebut bisa juga mempengaruhi mental perempuan yang jadi omongan.

Maka, jangan heran kalau ada perempuan yang sampai trauma atau ogah berteman dengan perempuan hanya karena berawal dari sering dijadikan bahan gosip.

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa perempuan menjadikan gosip sebagai solusi ketika berkonflik dengan sesama perempuan?

Jika perempuan menghadapi konflik dengan indirect aggression, laki-laki menghadapi konflik secara terbuka, tegas dan agresif.

Laki-laki kalau bertengkar bisa jadi pakai baku hantam, tapi kalau sudah baikan, mereka cenderung lupa dan tidak mau mengungkit lagi masalah itu.

Sementara perempuan kalau sudah bertengkar, bencinya sampai ke ubun-ubun, dongkolnya sampai ke sumsum tulang.

Dalam hubungan pertemanan, laki-laki cenderung blak-blakan, bahkan tidak jarang omongan mereka isinya pisuhan (caci maki) semua.

But, deep down inside their hearts, they're so sincere to their friendships. 

Mereka juga tidak segan untuk saling mendukung. Walaupun di saat yang bersamaan mereka juga saling berkompetisi.

Sementara hubungan pertemanan perempuan sering diwarnai dengan pujian di depan tapi banyak drama di belakang.

Yang membuat banyak drama terkadang adalah sikap mereka yang menganggap perempuan lain sebagai ancaman.

Ada perempuan lebih cantik, pintar dan kaya, dianggap ancaman. Mereka takut kalau kehadiran perempuan ini akan menarik perhatian lebih banyak orang, terutama laki-laki.

Perbedaan dalam menghadapi konflik antara laki-laki dan perempuan sebenarnya terbentuk melalui pola asuh yang bias gender.

Bahkan hal ini terbentuk melalui perkara sepele, seperti permainan yang mereka mainkan di masa kecil.

Ketika masih kecil, anak laki-laki diberi permainan yang mengasah kemampuan bekerja sama, kekuatan, kepemimpinan, jiwa kompetitif dan sebagainya.

Permainan anak laki-laki juga banyak mengajarkan bagaimana mencapai suatu tujuan sehingga mereka lebih terlatih untuk mengatur strategi.

Inilah yang jarang ditemukan pada permainan anak perempuan.

Permainan anak perempuan lebih bersifat pasif, seperti main boneka, masak-masakan, lompat tali, merias wajah.

Hal ini dipengaruhi oleh anggapan bahwa perempuan harus jadi "anak manis" yang tidak banyak tingkah sehingga anak perempuan yang memainkan permainan anak laki-laki akan dikatai "anak perempuan kok pecicilan?"

Pola asuh yang bias gender seperti contoh di atas punya dampak yang kurang sehat.

Pertama, anggapan perempuan harus selalu jadi "anak manis" tidak sepenuhnya tepat. Walaupun tidak sepenuhnya salah.

Menjadi tidak tepat ketika hal ini menjadikan anak perempuan tidak belajar tentang manajemen konflik.

Padahal konflik adalah hal yang lumrah terjadi dalam hubungan manusia sebagai makhluk sosial.

Karena sejak kecil selalu dituntut untuk menjadi anak manis, perempuan diharapkan untuk menghindari konflik demi menjaga hubungan baik.

Akibatnya ketika dihadapkan pada konflik, dipilihlah cara-cara seperti bergosip, menyebarkan rumor, mengucilkan seseorang dari kelompok dan lain-lain.

Padahal melakukan cara-cara tersebut termasuk toxic dan bisa memunculkan masalah baru di kemudian hari.

Kedua, perempuan tidak belajar tentang kompetisi yang sehat.

Perempuan yang dididik dengan konsep patriarki yang kuat akan memandang bahwa dirinya berharga ketika jadi perhatian atau dipilih laki-laki. Itu sebabnya perempuan kerap memandang kehadiran perempuan lain sebagai ancaman.

Karena tidak terlatih untuk bersaing secara sehat, digunakanlah konfrontasi indirect aggression dengan gosip, menyebarkan rumor dan kawan-kawannya untuk menjatuhkan perempuan lain yang dianggap rival atau musuh.

Orang yang doyan bergosip sering dikatakan bahwa di hatinya ada penyakit, seperti iri, dengki dan ingin terlihat lebih unggul.

Sudah ada potensi begini ditambah dengan patriarki dan bias gender yang kuat terhadap perempuan. Ibarat api disiram minyak.

Makin langgenglah stereotipe antara gosip dengan perempuan. Padahal laki-laki juga melakukannya.

Referensi : 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun