Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ada Privilese di Balik Kesuksesan

29 April 2021   20:06 Diperbarui: 1 Mei 2021   09:25 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi orang dengan privilese kekayaan. Photo by Anders Kristensen on Pxhere.com

Ada nggak teman-teman K-ners yang pernah ikut seminar, membaca atau menonton video motivasi?

Kalau iya, apa yang biasa dikatakan oleh motivator tentang kunci sukses?

Biasanya sih yang dikatakan motivator tidak jauh-jauh dari kerja keras, passion, ketekunan, keberuntungan.

Tapi ada satu faktor yang luput atau bahkan jarang disinggung ketika kita bicara soal kesuksesan.

Faktor itu bernama "privilege" atau privilese dalam bahasa Indonesia.

Apa itu privilese?

Privilese adalah hak istimewa atau keuntungan yang hanya bisa didapatkan oleh orang atau sekelompok orang tertentu.

Lalu, kenapa motivator jarang menyebut-nyebut soal privilese sebagai kunci kesuksesan? Benarkah kesuksesan yang diraih seseorang semata-mata karena kerja kerasnya saja dan tidak ada pengaruh privilese di baliknya?

Ada sebuah penelitian dari SMERU Institute (2018) yang dilakukan terhadap 1.522 anak usia 8-17 tahun pada tahun 2000. 

Peneliti mengamati perkembangan mereka selama 14 tahun hingga mereka mencapai usia 22-31 tahun dan telah bekerja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dan hidup dalam kemiskinan memiliki penghasilan lebih rendah 87% dibandingkan anak-anak yang lahir dan hidup di keluarga kaya.

Itu artinya anak-anak yang punya privilese ekonomi (lahir dan hidup di keluarga kaya) lebih mudah untuk sukses (secara materi) dibandingkan anak-anak yang tidak punya privilese ekonomi.

Senza Arsendy, peneliti dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), mengungkapkan ada tiga penyebab mengapa masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa kerja keras adalah kunci kesuksesan dan mengabaikan faktor privilese.

Pertama, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya sadar tentang ketimpangan ekonomi yang begitu besar.

Kedua, adanya ketimpangan kelas sehingga menyebabkan sekat-sekat dalam masyarakat.

Anak-anak orang kaya cenderung tinggal dan bersekolah di lingkungan elit sehingga circle mereka pun berisi orang-orang dengan status sosial-ekonomi yang mapan.

Sementara anak-anak orang miskin cenderung tinggal dan bersekolah di lingkungan masyarakat miskin sehingga circle mereka juga lebih banyak berkutat dengan orang-orang kelas menengah ke bawah.

Saya pikir ini juga yang menyebabkan sekolah-sekolah favorit di kota cenderung punya fasilitas yang lebih lengkap dibanding yang tidak. Murid-murid di sekolah-sekolah ini rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas.

Ketiga, masyarakat Indonesia punya minat yang tinggi pada produk-produk motivasi (seminar, buku, video).

Nah, alasan inilah yang menyebabkan para motivator jarang menyinggung soal privilese sebagai kunci kesuksesan.

Mereka tidak ingin dianggap menyurutkan semangat dan menyebarkan pesimisme pada masyarakat, khususnya anak-anak muda.

Menyebut-nyebut soal privilese sebagai kunci kesuksesan akan terdengar tidak heroik. Sementara masyarakat kita, terutama kaum muda, memang lebih menyukai kisah-kisah yang mengandung heroisme dan romantisme akan suatu hal.

Padahal apa gunanya meromantisisasi sesuatu jika hanya membuat kita buta pada realitas di lapangan?

Salahkah Jika Seseorang Sukses Karena Privilese?

Ketika membicarakan kisah sukses tokoh-tokoh ternama, kadang cerita itu diromantisisasi sedemikian rupa.

Bill Gates, misalnya.

Kita lupa bahwa pendiri Microsoft ini bukan dari keluarga biasa-biasa saja.

Ibu Bill Gates, Mary Gates, adalah salah satu direktur di perusahaan IBM. Ayahnya adalah seorang pengacara.

Awal perusahaan Microsoft baru berdiri, IBM memberi kesempatan untuk mengembangkan sistem operasi untuk komputer personal pertamanya. Dan itu tidak lepas dari bantuan sang ibu yang mendiskusikan perihal pendirian Microsoft kepada CEO IBM saat itu, John R Opel.

Kesuksesan seorang Putri Tanjung, CEO Creativepreneur dan Stafsus Kepresidenan, tentu tidak lepas dari privilesenya sebagai putri konglomerat, Chairul Tanjung.

Dan jangan lupakan bisnis kuliner Sang Pisang milik Kaesang Pangarep serta Markobar milik Gibran Rakabuming Raka. Di mana-mana yang namanya anak kepala negara pasti punya privilese lebih dibanding rakyat jelata.

Apakah mereka salah jika memanfaatkan privilese untuk mencapai kesuksesan?

Tidak.

Privilese yang mereka miliki adalah anugerah sekaligus takdir yang tidak bisa diubah.

Ingat, manusia tidak bisa memilih mau dilahirkan di keluarga atau dari orangtua yang seperti apa.

Maka, jika Anda adalah salah satu dari umat manusia yang punya privilese, syukuri dan akui saja kalau privilese itu juga membantu Anda untuk sukses. 

Entah itu privilese ekonomi, privilese sosial berupa koneksi ke orang-orang penting, bahkan privilese kecantikan atau ketampanan (beauty privilege).

Mengakuinya tidak akan membuat Anda tampak memalukan.

Tidak mungkin kan orang bisa sukses tanpa ada peran orang lain di belakangnya?

Lalu, Bagaimana Dengan Orang-orang yang Tidak Punya Banyak Privilese?

Saat mengetahui kenyataan ini, mungkin akan banyak dari kita yang akhirnya merasa pesimis dan menyalahkan keadaan yang dinilai tidak pernah berpihak pada kaum proletar.

Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya tanyakan dulu ke diri Anda.

Apa standar kesuksesan menurut Anda?

Perlu kita ketahui bersama bahwa masyarakat kita masih menilai kesuksesan dari banyaknya materi dan tingginya status sosial.

Jadi, kalau ukuran kesuksesan Anda adalah seperti Bill Gates, Steve Jobs, Jeff Bezos, ya agak susah kalau Anda bukan orang berprivilese (saya bukan bilang tidak mungkin lho ya. tolong jangan salah paham).

Kalau pun ada yang bisa, saya yakin perjuangannya pasti penuh keringat, air mata dan darah. Berkali-kali lipat lebih berat.

Tidak masalah kok, menurunkan atau menyederhanakan standar kesuksesan Anda. Karena pencapaian setiap orang beda-beda.

Ada yang menganggap bahwa dirinya dikatakan sukses ketika berhasil melawan rasa malas.

Ada yang merasa dirinya sukses ketika berhasil mengatasi rasa takut dan malu berbicara di depan orang banyak.

Ada orang yang hidupnya pas-pasan, pekerjaan tidak mentereng, tapi sanggup menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana. Itu juga bisa disebut sukses.

Dan ada seorang perempuan yang biasa-biasa saja, tulisannya nggak jelas, tata bahasanya berantakan, tapi merasa sukses ketika ada orang lain yang mendapat manfaat dari apa yang ditulisnya.

Karena baginya, sukses adalah ketika hidupnya bisa bermanfaat bagi orang lain. Minimal satu orang saja.

Ya, perempuan itu adalah orang yang menulis artikel receh ini. 

Referensi : satu, dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun