Itu artinya anak-anak yang punya privilese ekonomi (lahir dan hidup di keluarga kaya) lebih mudah untuk sukses (secara materi) dibandingkan anak-anak yang tidak punya privilese ekonomi.
Senza Arsendy, peneliti dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), mengungkapkan ada tiga penyebab mengapa masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa kerja keras adalah kunci kesuksesan dan mengabaikan faktor privilese.
Pertama, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya sadar tentang ketimpangan ekonomi yang begitu besar.
Kedua, adanya ketimpangan kelas sehingga menyebabkan sekat-sekat dalam masyarakat.
Anak-anak orang kaya cenderung tinggal dan bersekolah di lingkungan elit sehingga circle mereka pun berisi orang-orang dengan status sosial-ekonomi yang mapan.
Sementara anak-anak orang miskin cenderung tinggal dan bersekolah di lingkungan masyarakat miskin sehingga circle mereka juga lebih banyak berkutat dengan orang-orang kelas menengah ke bawah.
Saya pikir ini juga yang menyebabkan sekolah-sekolah favorit di kota cenderung punya fasilitas yang lebih lengkap dibanding yang tidak. Murid-murid di sekolah-sekolah ini rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas.
Ketiga, masyarakat Indonesia punya minat yang tinggi pada produk-produk motivasi (seminar, buku, video).
Nah, alasan inilah yang menyebabkan para motivator jarang menyinggung soal privilese sebagai kunci kesuksesan.
Mereka tidak ingin dianggap menyurutkan semangat dan menyebarkan pesimisme pada masyarakat, khususnya anak-anak muda.
Menyebut-nyebut soal privilese sebagai kunci kesuksesan akan terdengar tidak heroik. Sementara masyarakat kita, terutama kaum muda, memang lebih menyukai kisah-kisah yang mengandung heroisme dan romantisme akan suatu hal.