Banyak kasus kekerasan seksual yang kemudian berakhir secara "kekeluargaan" dalam penyelesaiannya.Â
Entah pelaku hanya disuruh meminta maaf pada korban atau pelaku dan korban malah disuruh menikah untuk menutupi aib.
Di dunia pendidikan, korban kekerasan seksual yang berstatus sebagai peserta didik bisa dikeluarkan dari sekolah. Apalagi kalau korbannya hamil.
Dalam praktiknya, kasus kekerasan terhadap anak perempuan peserta didik biasanya diselesaikan dengan dasar hukum UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002.
Namun, peraturan ini hanya berlaku sampai anak berumur 18 tahun sehingga peserta didik berusia 18 tahun ke atas (mahasiswa, misalnya) belum mendapat perlindungan khusus.
Belum lagi birokrasi kampus yang ruwet, seperti pada kasus Agni, membuat penanganan kasus jadi lambat dan bertele-tele.
Lagi-lagi pelaku lah yang lebih diuntungkan dengan keadaan ini.
Mewujudkan Dunia Pendidikan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan SeksualÂ
Baiq Nuril, Agni, dan perempuan-perempuan korban IM, menambah panjang deretan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di dunia pendidikan Tanah Air.
Sekolah atau kampus yang sejatinya menjadi pusat dari aktivitas keilmuan malah menjadi neraka bagi perempuan yang sedang menuntut ilmu.
Institusi pendidikan yang umumnya berisi orang-orang berpendidikan justru menodainya dengan tindakan-tindakan yang jauh dari cerminan orang berpendidikan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal tersebut terulang?