We live in a man's world, bukan sekadar omong kosong.
Laki-laki menciptakan budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan dan mendidik laki-laki menjadi pihak yang lebih superior, dominan dan tidak boleh kalah dari perempuan.
Standar nilai dan moral pun selalu dilihat dari kacamata laki-laki.Â
Oleh karena itu, perempuan sebaiknya manut-manut saja. Jangan banyak tingkah. Jangan banyak tanya dan protes. Karena itu berarti perlawanan dan pembangkangan. Begitulah budaya patriarki mengatur perempuan.
Sejak kecil laki-laki dididik dan diberitahu bahwa mereka adalah pemimpin, pelindung dan penanggung jawab.Â
Mereka adalah harapan dan masa depan bagi keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk harus bisa melakukan banyak hal, disekolahkan yang tinggi dan dibebaskan untuk berkarir atau meraih cita-cita.
Mereka dituntut harus bisa meraih banyak hal agar menjadi sukses dan mapan karena kelak mereka akan menanggung hidup orang lain.
Sementara perempuan, dalam masyarakat yang masih memegang teguh budaya patriarki, tidak pernah diajarkan bagaimana caranya menjadi perempuan yang berdikari dan dapat memaksimalkan potensinya untuk kemaslahatan umat manusia.
Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai objek. Perempuan dinilai bukan dari kualitas pribadinya sebagai manusia utuh, melainkan hanya dari keindahan paras dan tubuhnya.
Mereka didoktrin bahwa menjadi cantik adalah segalanya. Kalau kamu cantik, hidupmu akan lebih mudah, orang-orang akan bersikap lebih ramah dan laki-laki akan lebih banyak mendekat.
Lalu, segala sesuatunya pun diatur. Bagaimana seorang perempuan harus berpakaian, berbicara dan bersikap.Â
Perempuan tidak diberi ruang untuk mendefinisikan dirinya dan mengambil keputusan tentang apa yang ingin dan tidak ingin ia lakukan, tentang apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya. Bahkan persoalan yang seharusnya bersifat personal, seperti soal tubuh perempuan, tetap harus tunduk pada apa yang dikehendaki publik.Â
"Jadi perempuan jangan terlalu mandiri. Nanti nggak ada laki-laki yang mau"
"Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi? Toh, ujung-ujungnya cuma ngurus anak sama suami"
"Udah lah, nggak usah ambisius ngejar karir. Perempuan tuh tinggal duduk manis aja."
Pola pikir semacam itu adalah contoh dari feminitas beracun atau toxic feminity.Â
Feminitas beracun bersifat melemahkan dan menghambat seorang perempuan untuk maju dan berkembang.Â
Pemikiran berbahaya yang kerap menjangkiti perempuan yang terpapar feminitas beracun adalah ia selalu merasa dirinya sebagai pihak yang lemah, submissive sehingga harus dilindungi dan bergantung pada laki-laki.Â
Tanpa laki-laki yang melindungi dan bertanggung jawab atas dirinya, dia merasa nggak bisa apa-apa. Dia merasa hidupnya tidak aman dan tidak terjamin.
Maka, jangan heran kalau pola pikir semacam ini berpotensi melahirkan pelakor dan sugar baby yang menjadi simpanan pria-pria beristri.
Entah karena dilandasi motif ekonomi atau apa, yang jelas mereka mampu mendapatkan keuntungan material secara instan. Dalam beberapa kasus ada yang tidak segan-segan memanfaatkan hubungan terlarang itu untuk melakukan pemerasan.
Sementara laki-laki merasa bangga ketika mampu menebar uang di mana-mana, termasuk untuk memenuhi keinginan simpanannya.Â
Alasannya adalah mereka ingin membantu yang "lemah". Padahal sebenarnya mereka hanya ingin memuaskan ego maskulinnya belaka.
Dan budaya patriarki lagi-lagi melindungi serta memaklumi tindakan laki-laki macam ini.Â
Jadi, jangan heran ketika ada kabar perselingkuhan, semua fokus dan hujatan hanya diarahkan pada perempuan yang ditengarai sebagai pelakor. Pokoknya si pelakor ini yang kegatelan, makanya si suami berpaling.
Padahal si laki-laki, sebagai seseorang yang telah beristri, juga pantas disalahkan karena tidak serius menjaga komitmen pernikahannya. Demi memuaskan hawa nafsu dan ego maskulinnya, ia tega menggoreskan luka dan trauma di hati istri dan anak-anaknya.Â
Feminitas beracun yang parah dapat menyebabkan sesama perempuan saling menjatuhkan.Â
Berbeda dengan perempuan yang dependant, mereka yang cukup mandiri dan punya power, terkadang tega menindas perempuan lain yang dianggap lebih "lemah".Â
Alasannya bisa macam-macam. Tapi, seringkali hal itu dilakukan demi mendapat pengakuan dan menjadi yang "terpilih" oleh laki-laki.Â
Bagi mereka, menjadi seseorang yang dipilih dan diakui oleh lawan jenis membuat mereka lebih "bernilai" dibanding mereka yang tidak terpilih.Â
Hal ini tidak hanya terkait urusan asmara saja, tapi juga pekerjaan (oleh rekan kerja dan atasan) maupun interaksi sosial sehari-hari.Â
Sebagai seorang perempuan, saya merasa bahwa persaingan antar perempuan sendiri terkadang memang melelahkan. Jika itu adalah persaingan yang sehat, tentu tidak masalah.Â
Nah, yang bikin lelah adalah karena terlalu banyak drama. Bahkan untuk urusan sepele, seperti berebut kursi di gerbong KRL khusus perempuan yang bisa berakhir dengan adu mulut dan adu fisik.Â
Gerbong khusus perempuan yang disediakan dengan tujuan untuk mengurangi risiko pelecehan terhadap perempuan di ruang publik, malah jadi "neraka" yang membuat mereka trauma.Â
Ingatan saya pun terbang ke masa SMP-SMA. Saya ingat betul, beberapa teman perempuan pernah dilabrak oleh kakak kelas hanya karena masalah cowok.Â
Intinya, si kakak kelas ini merasa tersaingi. Entah gara-gara kalah cantik atau kalah populer.Â
Gara-gara itu, teman saya yang pernah jadi korban, sampai takut ke kantin sendiri. Atau kalau ia melihat kakak kelas yang melabraknya ada di titik tertentu di sekolah, ia akan cari jalan lain. Pokoknya jangan lewat situ.Â
Ketika masuk ke dunia kerja, hal yang sama juga saya temukan walaupun beda kasus.Â
Kerja nggak bener dibilang males, nggak becus. Kerja yang bener, malah dituduh cari muka ke atasan. Berpendapat, malah dikira cari perhatian.Â
Dan yang bersikap sinis begini adalah perempuan. Ditujukan kepada rekan kerja perempuan pula.Â
Feminisme dan kesetaraan gender adalah tentang memperjuangkan keadilan. Bukan hanya bagi perempuan, melainkan juga bagi laki-laki.Â
Dengan demikian, feminitas beracun jelas bukan produk turunan feminisme dan kesetaraan gender. Sebagaimana maskulinitas beracun, keberadaannya justru merupakan akibat dari praktik budaya patriarki.Â
Sebagai penutup, ada tiga hal yang ingin saya garis bawahi dari pembahasan ini.Â
Pertama, menjadi perempuan mandiri itu wajib.
Perempuan mandiri bukan berarti tidak boleh menikah. Ada banyak perempuan mandiri yang tetap menikah. Bahkan ada pula yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Dan banyak yang memilih hal tersebut secara sadar.Â
Perempuan mandiri bukan berarti tidak butuh bantuan siapapun.Â
Sikap mandiri sejatinya adalah mengurangi ketergantungan diri terhadap orang lain, memiliki prinsip hidup yang kuat dan mampu mengambil keputusan atas hidupnya.Â
Dengan menjadi perempuan mandiri, mereka justru meringankan beban dan kesulitan orang-orang di sekitarnya.Â
Perempuan mandiri juga tidak mudah dimanfaatkan dan "disetir" oleh orang lain karena ia punya prinsip yang kokoh. Kalau A ya A, B ya B.Â
Jadi, apa sih yang harus ditakutkan dari perempuan mandiri?Â
Kedua, belajarlah untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri.Â
Budaya patriarki telah membuat perempuan kesulitan untuk mengenal dan menjadi dirinya sendiri.Â
Semua persepsi tentang dirinya dibentuk ,didefinisikan dan didikte oleh laki-laki.Â
Perempuan tegas dianggap galak dan kasar. Perempuan kuat dan mandiri dianggap kurang feminin. Perempuan sukses dianggap ingin mendominasi laki-laki.Â
Sayangnya, banyak perempuan yang juga meyakini pemikiran sesat tersebut. Akibatnya, perempuan yang tidak mengenal dirinya dengan baik akan bersikap dan berperilaku seperti yang didiktekan oleh orang lain.Â
Inilah sebabnya perempuan takut mewujudkan cita-citanya. Takut menyuarakan pendapatnya. Takut mengambil keputusan. Karena bisa dianggap kebablasan dan menyalahi kodrat.Â
Ketiga, sesama perempuan seharusnya saling mendukung dan menguatkan, bukan menjatuhkan.Â
Mendukung disini tentu dalam hal positif. Bukan dukungan membabi-buta hanya karena dia perempuan.Â
Jadi, misal ada perempuan yang melecehkan laki-laki atau melakukan tindakan yang diskriminatif, ya sebagai sesama perempuan harusnya mengingatkan kalau itu salah. Jangan malah membenarkan perbuatannya.Â
Kita mendukung perempuan untuk mendapatkan keadilan. Mendukung perempuan untuk memaksimalkan potensinya. Mendukung perempuan untuk berani menyuarakan pendapatnya. Mendukung perempuan untuk berani memiliki pilihan hidup. Dan sebagainya.Â
Setiap perempuan punya medan juangnya masing-masing. Begitu pun dengan pandangan maupun jalan yang ditempuhnya untuk menjadikan dirinya berdaya.Â
Jangan cuma karena perbedaan pandangan dan cara, kita lantas menyerang perempuan lain yang tidak sepaham. Feminisme nggak sesempit itu, sis.Â
Referensi : (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H