We live in a man's world, bukan sekadar omong kosong.
Laki-laki menciptakan budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan dan mendidik laki-laki menjadi pihak yang lebih superior, dominan dan tidak boleh kalah dari perempuan.
Standar nilai dan moral pun selalu dilihat dari kacamata laki-laki.Â
Oleh karena itu, perempuan sebaiknya manut-manut saja. Jangan banyak tingkah. Jangan banyak tanya dan protes. Karena itu berarti perlawanan dan pembangkangan. Begitulah budaya patriarki mengatur perempuan.
Sejak kecil laki-laki dididik dan diberitahu bahwa mereka adalah pemimpin, pelindung dan penanggung jawab.Â
Mereka adalah harapan dan masa depan bagi keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk harus bisa melakukan banyak hal, disekolahkan yang tinggi dan dibebaskan untuk berkarir atau meraih cita-cita.
Mereka dituntut harus bisa meraih banyak hal agar menjadi sukses dan mapan karena kelak mereka akan menanggung hidup orang lain.
Sementara perempuan, dalam masyarakat yang masih memegang teguh budaya patriarki, tidak pernah diajarkan bagaimana caranya menjadi perempuan yang berdikari dan dapat memaksimalkan potensinya untuk kemaslahatan umat manusia.
Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai objek. Perempuan dinilai bukan dari kualitas pribadinya sebagai manusia utuh, melainkan hanya dari keindahan paras dan tubuhnya.
Mereka didoktrin bahwa menjadi cantik adalah segalanya. Kalau kamu cantik, hidupmu akan lebih mudah, orang-orang akan bersikap lebih ramah dan laki-laki akan lebih banyak mendekat.