Nah, yang bikin lelah adalah karena terlalu banyak drama. Bahkan untuk urusan sepele, seperti berebut kursi di gerbong KRL khusus perempuan yang bisa berakhir dengan adu mulut dan adu fisik.Â
Gerbong khusus perempuan yang disediakan dengan tujuan untuk mengurangi risiko pelecehan terhadap perempuan di ruang publik, malah jadi "neraka" yang membuat mereka trauma.Â
Ingatan saya pun terbang ke masa SMP-SMA. Saya ingat betul, beberapa teman perempuan pernah dilabrak oleh kakak kelas hanya karena masalah cowok.Â
Intinya, si kakak kelas ini merasa tersaingi. Entah gara-gara kalah cantik atau kalah populer.Â
Gara-gara itu, teman saya yang pernah jadi korban, sampai takut ke kantin sendiri. Atau kalau ia melihat kakak kelas yang melabraknya ada di titik tertentu di sekolah, ia akan cari jalan lain. Pokoknya jangan lewat situ.Â
Ketika masuk ke dunia kerja, hal yang sama juga saya temukan walaupun beda kasus.Â
Kerja nggak bener dibilang males, nggak becus. Kerja yang bener, malah dituduh cari muka ke atasan. Berpendapat, malah dikira cari perhatian.Â
Dan yang bersikap sinis begini adalah perempuan. Ditujukan kepada rekan kerja perempuan pula.Â
Feminisme dan kesetaraan gender adalah tentang memperjuangkan keadilan. Bukan hanya bagi perempuan, melainkan juga bagi laki-laki.Â
Dengan demikian, feminitas beracun jelas bukan produk turunan feminisme dan kesetaraan gender. Sebagaimana maskulinitas beracun, keberadaannya justru merupakan akibat dari praktik budaya patriarki.Â
Sebagai penutup, ada tiga hal yang ingin saya garis bawahi dari pembahasan ini.Â