Lalu, segala sesuatunya pun diatur. Bagaimana seorang perempuan harus berpakaian, berbicara dan bersikap.Â
Perempuan tidak diberi ruang untuk mendefinisikan dirinya dan mengambil keputusan tentang apa yang ingin dan tidak ingin ia lakukan, tentang apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya. Bahkan persoalan yang seharusnya bersifat personal, seperti soal tubuh perempuan, tetap harus tunduk pada apa yang dikehendaki publik.Â
"Jadi perempuan jangan terlalu mandiri. Nanti nggak ada laki-laki yang mau"
"Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi? Toh, ujung-ujungnya cuma ngurus anak sama suami"
"Udah lah, nggak usah ambisius ngejar karir. Perempuan tuh tinggal duduk manis aja."
Pola pikir semacam itu adalah contoh dari feminitas beracun atau toxic feminity.Â
Feminitas beracun bersifat melemahkan dan menghambat seorang perempuan untuk maju dan berkembang.Â
Pemikiran berbahaya yang kerap menjangkiti perempuan yang terpapar feminitas beracun adalah ia selalu merasa dirinya sebagai pihak yang lemah, submissive sehingga harus dilindungi dan bergantung pada laki-laki.Â
Tanpa laki-laki yang melindungi dan bertanggung jawab atas dirinya, dia merasa nggak bisa apa-apa. Dia merasa hidupnya tidak aman dan tidak terjamin.
Maka, jangan heran kalau pola pikir semacam ini berpotensi melahirkan pelakor dan sugar baby yang menjadi simpanan pria-pria beristri.
Entah karena dilandasi motif ekonomi atau apa, yang jelas mereka mampu mendapatkan keuntungan material secara instan. Dalam beberapa kasus ada yang tidak segan-segan memanfaatkan hubungan terlarang itu untuk melakukan pemerasan.