Sementara laki-laki merasa bangga ketika mampu menebar uang di mana-mana, termasuk untuk memenuhi keinginan simpanannya.Â
Alasannya adalah mereka ingin membantu yang "lemah". Padahal sebenarnya mereka hanya ingin memuaskan ego maskulinnya belaka.
Dan budaya patriarki lagi-lagi melindungi serta memaklumi tindakan laki-laki macam ini.Â
Jadi, jangan heran ketika ada kabar perselingkuhan, semua fokus dan hujatan hanya diarahkan pada perempuan yang ditengarai sebagai pelakor. Pokoknya si pelakor ini yang kegatelan, makanya si suami berpaling.
Padahal si laki-laki, sebagai seseorang yang telah beristri, juga pantas disalahkan karena tidak serius menjaga komitmen pernikahannya. Demi memuaskan hawa nafsu dan ego maskulinnya, ia tega menggoreskan luka dan trauma di hati istri dan anak-anaknya.Â
Feminitas beracun yang parah dapat menyebabkan sesama perempuan saling menjatuhkan.Â
Berbeda dengan perempuan yang dependant, mereka yang cukup mandiri dan punya power, terkadang tega menindas perempuan lain yang dianggap lebih "lemah".Â
Alasannya bisa macam-macam. Tapi, seringkali hal itu dilakukan demi mendapat pengakuan dan menjadi yang "terpilih" oleh laki-laki.Â
Bagi mereka, menjadi seseorang yang dipilih dan diakui oleh lawan jenis membuat mereka lebih "bernilai" dibanding mereka yang tidak terpilih.Â
Hal ini tidak hanya terkait urusan asmara saja, tapi juga pekerjaan (oleh rekan kerja dan atasan) maupun interaksi sosial sehari-hari.Â
Sebagai seorang perempuan, saya merasa bahwa persaingan antar perempuan sendiri terkadang memang melelahkan. Jika itu adalah persaingan yang sehat, tentu tidak masalah.Â