Mohon tunggu...
LumbaLumba
LumbaLumba Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Mencoba berbagi kisah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gadis Tercantik di London (Perang Eropa)-23

8 April 2014   12:53 Diperbarui: 20 April 2016   01:17 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

        Perang selalu membawa kehancuran.

        Bagi penduduk London sangat mudah memaknai kalimat itu sekarang. Beberapa bulan lalu mereka sibuk mengasihani penduduk Rotterdam yang kotanya dibom Nazi. Namun hanya berselang 4 bulan, London telah mendapatkan gilirannya.

        Stella memegangi kepalanya yang pening.

        Ia berjalan dengan gontai mencari telepon umum. Di sekitarnya puing - puing bekas pemboman semalam masih menggunung. Udara dingin pagi terasa menusuk tulang. Kota London yang sering berkabut kini makin pekat terkena sisa asap gedung yang terbakar. Bau gosong tercium tajam.

        Stella melihat - lihat sepanjang perjalanan.

        Suasana begitu sepi. Hanya satu dua orang yang dijumpainya. Sebuah mobil Cadillac putih tampak terguling di pinggir jalan. Sebagian badannya hancur. Jalan raya terlihat lengang. Tampak lubang menganga yang cukup besar di sebuah kawasan pertokoan. Mengerikan.

        Stella akhirnya menemukan telepon umum.

        Ia harus mengantri cukup panjang sebelum masuk ke bilik merah tersebut. Banyak orang ingin mengabari keluarganya supaya mereka tak cemas. Stella lalu menekan tombol dan menghubungi operator. Meminta disambungkan dengan rumah keluarganya di Manchester. Beruntung jalur komunikasi telepon di London masih berfungsi dengan baik.

***

        Malam - malam berikutnya pemboman terus berlanjut.

        Sepertinya Hitler ingin melumpuhkan London serta menghancurkan moril penduduknya. Jika moril ambruk, rakyat Inggris tentu segan melanjutkan perang. Buntutnya, pemerintah Inggris tentu mengikuti keinginan rakyatnya.

        Gambaran ini bukanlah khayalan tidak berdasar. Menurut Giulio Douhet, lewat pemboman besar - besaran dari udara suatu negara bisa ditaklukan. Douhet adalah seorang jenderal Italia yang memandang tinggi kekuatan udara. Meski belum ada yang membuktikan teorinya, bukan tidak mungkin memang berhasil.

        Namun Kurt Student, salah satu jenderal Jerman, kurang cocok dengan taktik semacam itu. Pemboman udara terus - menerus ke London terlalu memboroskan tenaga dan waktu. Lebih efektif melakukan satu kali pemboman saja dan dilanjutkan dengan penerjunan pasukan payung.

        Student menilai rencana berikut adalah yang paling ideal.

        Kerahkan wing pesawat pemburu ke London untuk menyapu pesawat pemburu Inggris. Susul dengan wing pesawat pembom untuk menghancurkan pertahanan London serta mengacaukan penduduknya. Terakhir, kerahkan wing pesawat pengangkut untuk membawa dan menerjunkan pasukan payung. Selanjutnya tinggal menunggu pasukan elit tersebut melumpuhkan berbagai instansi penting dan menawan para petinggi Inggris. Pasukan infantri akan menyusul mendarat dengan pesawat peluncur.

        Itu baru strategi jitu.

        Sayang, pasukan payung Jerman belum cukup kuat untuk melakukan invasi. Paling tidak dibutuhkan 20.000 personel untuk menguasai London. Jerman belum mampu menyediakan prajurit payung sebanyak itu. Paling banter hanya ada 5000 sampai 7000 personel. Sulit mendapatkan tambahan personel dalam waktu singkat. Mendidik seorang pemuda menjadi prajurit elit bukan pekerjaan satu - dua hari. 

        Mau tak mau Jerman harus berperang memakai strategi Douhet.

        Mujur bagi Hitler, orang Inggris tak tahu pasukan payung Jerman dalam keadaan lemah. Tidak sedikit penduduk Inggris yang mencemaskan kedatangan pasukan elit tersebut. Ini bisa menjadi gertak sambal yang hebat bagi mereka. Paling tidak moril mereka akan terpengaruh.

***

        Memasuki pemboman hari ketujuh, kondisi London makin parah.

        Sepertinya Hitler akan segera menuai keberhasilan teori Douhet. Perekonomian London mengalami kemunduran pesat. Sudah banyak pusat industri yang hancur. Pengangguran merajalela. Jalur - jalur transportasi banyak yang lumpuh. Mobil - mobil kini menjadi barang rongsokan karena kelangkaan bahan bakar. Jalan raya dan gedung pemerintah hancur.

        Istana Buckingham sempat pula terkena bom. Namun raja George VI dan keluarganya tetap menolak untuk mengungsi ke negara lain. Mereka merasa senasib sepenanggungan dengan rakyatnya. Keteguhan mereka menguatkan moril rakyat Inggris. Apalagi selama pemboman tidak jarang masyarakat dapat bertemu langsung dengan baginda mereka. Raja George dan ratu Elizabeth tidak keberatan untuk mengunjungi rumah rakyat yang hancur.

        Stella pernah juga berjumpa dengan Royal Family tersebut. Namun ia hanya melihat mereka dari jauh.

        Stella menghormati kedatangan raja dan ratu, namun hatinya saat ini merindukan yang lain.

        Sejak kepergian Lancelot ke Derbyshire, Stella merasa sedih. Tidak, ini bukanlah perasaan seorang pencari berita yang kehilangan 'mangsanya'. Ini jauh lebih bersifat pribadi. Ia tahu Lancelot marah dengan sikap warga kota yang mengusirnya. Tapi sebegitu besarkah egonya hingga meninggalkan tugas menjaga London? Mengabaikan orang - orang yang seharusnya dia lindungi?

        Mungkin perkataan Lancelot dulu ada benarnya. Ia tidak merasa pantas menjadi pahlawan. Jadi selama ini penduduk London dan Stella hanya bermimpi? Merasa sudah mendapatkan figur ksatria pelindung kota padahal sang ksatria hanya berbuat sesuka hati. Datang ke London demi mengejar gadis cantik sembari dar-der-dor menembaki orang Jerman.

        Stella bangkit sambil memukul kedua belah pahanya. Ia merasa kesal.

        Lancelot telah pulang begitu saja.

        Dasar tidak bertanggung - jawab. Stella kecewa. Ia salah mengira Lancelot orang berhati mulia. Orang yang sanggup menekan masalah pribadi demi hal lebih penting. Waktu London belum diserbu orang Jerman, Lancelot aktif berdinas. Tapi saat London diobrak - abrik, Lancelot malah pergi begitu saja. Padahal sejak awal tugasnya adalah melindungi London.

        Stella sibuk berpikir. Bagaimana caranya membawa Lancelot kembali?

        Mendadak dilihatnya sesuatu di seberang jalan.

        Stella menatap sebuah mobil Peugeot yang terparkir.

        Tampak dua orang lelaki duduk bersantai di jok depan. Keduanya memakai topi Fedora serta jubah hitam. Mencurigakan. Entah kenapa mereka kelihatan aneh.

        Lelaki di belakang setir tampak asik merokok di dekat jendela. Sementara lelaki di sampingnya sedang membolak - balik halaman koran. Stella merasa curiga dengan keduanya. Seolah mereka sedang mengintai. Lebih - lebih Stella seperti pernah melihat mereka.

        Jangan - jangan dua pria itu adalah perampok yang menguntit korbannya.

Bersambung

(Kisah ini ditayangkan tiap senin - rabu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun