Layar ponselmu kembali menyala. Dua notifikasi muncul di sana. Kau sudah sering mendengar kalimat itu, sudah sering juga kau meyakinkannya bahwa mati bukan sebuah solusi. Bahwa masih banyak orang-orang yang menyayanginya. Percuma, kalimat itu akan muncul lagi dari wanita itu dan ia tetap baik-baik saja sesudahnya.Â
Kau benar-benar menyesal telah meletakan perhatian besar pada hidup wanita itu. Kau lelah, meski hanya sekedar membaca pesan-pesan itu. Kau kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Setelah mengaktifkan mode diam, kau merasa muak menghadapi segalanya tentang wanita itu.
Kau hanya ingin menenangkan diri, kau butuh recharge energi. Esok kau akan kembali membalas pesan-pesan itu. Biarlah malam ini kau mengabaikannya sejenak. Nyatanya memutuskan hubungan dengan wanita itu begitu sulit. Kau tau, prilakunya yang demikian juga bias dari masa lalu yang buruk, ia hanya ingin lebih banyak diperhatikan. Meski caranya menarik perhatian seringkali mengusik orang lain.
Esok paginya kau terbangun dengan perasaan lega yang lebih besar, kau mengembuskan nafas, terasa lebih ringan. Pagi itu kau berniat membalas pesan-pesan yang kau abaikan semalam, termasuk pesan wanita itu.
Kau tertegun mendapati banyak sekali pesan dan panggilan masuk. Dari wanita itu, dari mantan suami wanita itu, dan terakhir dari ibu.
Â
"Nak, Senna bunuh diri."
Kau membuka pesan dari ibumu, pesan yang disertai video berdurasi sepuluh menit. Tanganmu gemetar, tak kuasa menggulir layar, memutar video itu. Gegas kau menuju pesan-pesan dari wanita itu, wanita bernama Senna, temanmu. Dua puluh pesan itu memenuhi layar,berisi permintaan maaaf. Â
Matamu memanas, rongga dadamu terasa nyeri, sesak. Bulir bening jatuh mengenai ponsel yang masih menyala. Semalam kau menganggap perkataan itu sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya sebuah kalimat-kalimat berselimut kebohongan untuk menarik perhatian.
Kau tergugu memeluk diri, merutuki kebodohan yang kau lakukan, kau amat menyesal telah mengabaikan pesan dan panggilan itu semalam. Andaikan kau membalas pesan itu, andaikan kau mengangkat panggilan telepon itu, andaikan. Dadamu kembali berdenyut nyeri, kini kau berkubang pada sesal yang dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H