Ponsel di atas nakas itu kembali berdering, entah untuk yang keberapa kali. Kau hanya melihatnya sekilas, lantas mengabaikannya kembali saat tahu siapa yang menelpon di malam yang mulai larut itu. Setelah dering nada tak terdengar lagi, kau meraih benda pipih itu, menggulir layarnya perlahan.
"Aku capek, Na."
"Semua orang kembali menyalahkanku."
"Tentang kematian anakku, tentang perceraianku."
"Hidup sudah tak ada artinya lagi bagiku, Na."
"Na, kamu di mana?"
"Aku Sungguh menyesal, Na. ini semua salahku."
"Jika kamu sudah tak sibuk, telpon balik, aku mau cerita."
"Na."
Kau membaca pesan yang tertera di jendela layar, pesan-pesan beruntut itu. kembali kau menghembuskan nafas, itu bukan kali pertama kau diburu pesan serupa. Pesan-pesan yang penuh dengan keluhan demi keluhan, umpatan demi umpatan. Selama ini kau melakukannya dengan tulus pada seorang teman yang kau kenal lima tahun lalu itu. Kau menyediakan telinga, menyediakan tempat yang akan menjadikannya nyaman untuk singgah sejenak. Melupakan sedikit penat yang ada dalam hidupnya.
Kau telah mendengar semua cerita itu, cerita tentang bagaimana anaknya mengalami kecelakaan karena kelalaiannya menjaga batita yang aktif. Perihal suami yang selalu menyalahkannya pada setiap apa yang dilakukan.  Juga tentang ketakutan-ketakutan yang tak berdasar  akan sesuatu yang belum terjadi. Kau tau, sungguh tau lebih baik dari siapapun tentang latar belakang wanita itu, ia salah satu korban broken home. Orang tuanya bercerai dan telah hidup masing-masing dengan pasangan dan anak-anak yang baru.
Awalnya hal itu yang membuatmu begitu bersimpati akan kisah hidupnya yang berkebalikan dari hidupmu yang lengkap dan harmonis. Kau mengerahkan seluruh energi, mendengarkan cerita-cerita itu, mencoba memahami dan memberikan saran-saran terbaik sebagai seorang teman yang amat peduli.Â
Awalnya semua berjalan lancar, kau yang memiliki kepribadian yang baik dalam mendengarkan sungguh-sungguh mampu menamatkan ceritanya berjam-jam bahkan berulang-ulang tanpa sedikitpun kau menorehkan protes panjang atau menujukkan gelagat bosan.
"Hubungi aku jika kau butuh teman cerita, jangan pendam semuanya sendirian. Kamu gak sendirian di dunia ini."
Itu kalimat yang sering kau katakan pada wanita itu. Awalnya kau mengatakan kalimat itu sungguh-sungguh. Kau sungguh menyayangi wanita itu dan tak akan membiarkannya sendirian dalam menghadapi dunia yang kejam ini. Namun, belakangan kau mulai menyesali kalimat yang sering kau katakan pada wanita itu.
Suatu waktu kau pernah mengetahui fakta akan sebuah cerita yang di sampaikannya padamu. Suaminya tidak seburuk yang dikisahkan, kematian anaknya juga memang karena kecerobohan wanita itu. Kau mulai mencari tahu lebih banyak tentang kebenaran setiap cerita dari lisan perempuan itu dan alangkah terkejutnya, kisah-kisah itu bualan belaka.Â
Padahal selama ini kau telah mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mendengarkan setiap kisah yang ia tuturkan. Tanpa sadar kisah-kisah dengan keluh kesah dan kata-kata pesimistis dalam hidupnya turut menyalurkan energi negatif. Kau sering merasa lelah batin tiap kali usai mendengarkannya.
Setelah mengetahui kisah-kisah bohong yang kau terima selama ini, kau masih bertahan mendengarkan saat wanita itu datang menemuimu. Kau tetap menyimak dengan ciri khasmu menganggukkan kepala, kau mencoba menahan diri untuk menyuruhnya berhenti berkisah. Juga saat wanita itu mengirimu pesan  demi pesan yang terbilang tak tau waktu, entah kau sedang istirahat, entah kau sedang sibuk bekerja, entah kau sedang di mana, kau tetap membalasanya.Â
Kau masih melakukan hal yang sama. Bedanya, kau melakukan itu selintas lalu, masuk kuping kanan keluar kuping kiri, pesan-pesan yang kau baca itu, hanya garis besarnya kau pahami. Kau tetap memberinya nasehat, kau tetap memainkan peranmu dengan sempurna. Kau tetap tak ingin ia sendirian, kau tau ia hanya butuh teman berbagi cerita. Entah cerita sungghan atau cerita yang hanya ada dalam kepalanya.
"Kamu benar-benar teman terbaikku, aku sungguh tak tau bagaimana duniaku tanpa kamu. rasanya beban-beban berat yang ada dalam hatiku benar-benar luruh seketika saat aku bercerita denganmu."
Itu kalimat yang sering kau dengar keluar dari bibirnya yang terdengar manis, kau terlanjur tak lagi mempercayainya. Kau mulai merasa muak. Kau merasa seseorang itu benar-benar menciptakan hubungan pertemanan yang toxic. Perkataanmu yang memberitahunya perihal kebohongan cerita miliknya hanya ditanggapi dengan tawa sumbang. Dan ia tetap menghubungimu, mencarimu untuk sekedar merutuk pada dunianya atau mengatakan kalimat-kalimat putus asa lainnya. Kau mulai kehilangan energi, kau merasa lelah sendiri. Kau ingin mencipta jarak. Perasaan sesal atas kau yang selalu mempercayainya bergumul pada rasa marah. Kau merasa kebaikanmu dimanfaatkan.
"Na, mungkin lebih baik aku mati saja."
"Toh tak ada yang akan mencariku."
Layar ponselmu kembali menyala. Dua notifikasi muncul di sana. Kau sudah sering mendengar kalimat itu, sudah sering juga kau meyakinkannya bahwa mati bukan sebuah solusi. Bahwa masih banyak orang-orang yang menyayanginya. Percuma, kalimat itu akan muncul lagi dari wanita itu dan ia tetap baik-baik saja sesudahnya.Â
Kau benar-benar menyesal telah meletakan perhatian besar pada hidup wanita itu. Kau lelah, meski hanya sekedar membaca pesan-pesan itu. Kau kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Setelah mengaktifkan mode diam, kau merasa muak menghadapi segalanya tentang wanita itu.
Kau hanya ingin menenangkan diri, kau butuh recharge energi. Esok kau akan kembali membalas pesan-pesan itu. Biarlah malam ini kau mengabaikannya sejenak. Nyatanya memutuskan hubungan dengan wanita itu begitu sulit. Kau tau, prilakunya yang demikian juga bias dari masa lalu yang buruk, ia hanya ingin lebih banyak diperhatikan. Meski caranya menarik perhatian seringkali mengusik orang lain.
Esok paginya kau terbangun dengan perasaan lega yang lebih besar, kau mengembuskan nafas, terasa lebih ringan. Pagi itu kau berniat membalas pesan-pesan yang kau abaikan semalam, termasuk pesan wanita itu.
Kau tertegun mendapati banyak sekali pesan dan panggilan masuk. Dari wanita itu, dari mantan suami wanita itu, dan terakhir dari ibu.
Â
"Nak, Senna bunuh diri."
Kau membuka pesan dari ibumu, pesan yang disertai video berdurasi sepuluh menit. Tanganmu gemetar, tak kuasa menggulir layar, memutar video itu. Gegas kau menuju pesan-pesan dari wanita itu, wanita bernama Senna, temanmu. Dua puluh pesan itu memenuhi layar,berisi permintaan maaaf. Â
Matamu memanas, rongga dadamu terasa nyeri, sesak. Bulir bening jatuh mengenai ponsel yang masih menyala. Semalam kau menganggap perkataan itu sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya sebuah kalimat-kalimat berselimut kebohongan untuk menarik perhatian.
Kau tergugu memeluk diri, merutuki kebodohan yang kau lakukan, kau amat menyesal telah mengabaikan pesan dan panggilan itu semalam. Andaikan kau membalas pesan itu, andaikan kau mengangkat panggilan telepon itu, andaikan. Dadamu kembali berdenyut nyeri, kini kau berkubang pada sesal yang dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H