"Menurutmu, apa yang paling menarik dalam hidup ini?"
Eh, aku tersentak sejenak, menatap langit yang legam di ketinggian sana. Semilir angin turut berbisik menanyakan pertanyaan serupa.
"Kau bisa menjawabnya?"
Aku kembali tertegun, aku tak pernah terpikirkan oleh pertanyaan semacam itu. Apa yang menarik dari hidup? Aku kembali menatap langit, hening, seolah tak ada yang terlintas dalam benakku jawaban akan pertanyaan yang tiba-tiba itu. Hartakah? Jabatankah? Kepopulerankah?
"Kau butuh bantuan untuk menemukan jawaban itu?"
Reflek aku mengangguk, setelah bergeming cukup lama. Aku menyadari hidupku baik-baik saja, semua lancar berjalan seperti semestinya, pendidikan, keluarga, pekerjaan, bahkan boleh jadi perihal cinta. Aku boleh jadi memiliki semua, namun saat pertanyaan itu kudengar aku sama sekali tak dapat menebak, apa yang paling menarik menurutku dari hidup ini.
"Baiklah, Diya, kau boleh bertanya pada siapapun yang menurutmu mampu memberikan jawaban terbaiknya."
Aku menghembuskan nafas demi mendengar kalimat dari suara itu. Mengangguk, ada beberapa nama yang terlintas dalam benakku. Orang-orang yang mungkin dapat kutanyai perihal pertanyaan yang ditanyakan padaku barusan. Karena sungguh aku sama sekali tak dapat ide akan jawaban seperti apa akan tanya itu. Aku tak mau menjawab asal, aku selalu ingin memiliki jawaban yang keren, meski tak diakui oleh orang lain setidaknya aku ingin diakui oleh diri sendiri. Aku juga tak mau menjawab hanya berasal dari teori belaka, yang mana tak ada sangkut pautnya dengan apa yang dapat kurasakan dalam hidup. Jawaban yang hanya selintas di bibir aku tak menyukainya, jawaban yang kumiliki haruslah bersumber dari hati dan pikiran yang jernih.
Aku segera mengambil ponsel, mencari beberapa nama, lantas mengetikkan sebuah pesan, pesan berisi sebuah pertanyaan. Setidaknya dari jawaban merekaaku dapat menyadari sesuatu yang mungkin luput dari pengamatanku.
"Menurutmu, apa yang paling menarik dari hidup ini?"
Pesan itu segera terbaca, aku memerhatikan cukup. Namun lama, balasan tak segera kuterima, kupikir seseorang di seberang sana juga tengah berpikir untuk memberikan jawaban terbaik, sesuatu yang membuatnya tertarik dalam hidup ini. Yang mana boleh jadi itu menjadi alasan terkuatnya untuk bertahan dalam berbagai guncangan yang ada. Bukankah ketika tidak ada yang menarik lagi dalam hidup, yang tersisa hanyalah perasaan hampa, kosong dan hambar.
Tingg
Satu pesan masuk
"Menurutku yang paling menarik adalah perjalanannya, kadang terjal kadang mulus juga. Semua itu pantas untuk dinikmati, karena nyatanya seterjal apapun hidup, kalau sudah dilewati itu akan menjadi tawa tersendiri, jadi, sekarang kek menunggu-nunggu jalan seperti apa ya yang akan saya lewati nantinya."
Aku mengangguk setuju, perjalanan. Mungkin ada benarnya juga.
Tingg
Satu pesan lagi masuk
"Entah, mungkin jalan hidup mungkin,"
"jalan yang bagaimana?" kuketikkan sebuah balasan, tak bisakah menjelaskan lebih rinci dan lebih niat gitu, tapi maklumlah manusia memang banyak macam tabiatnya, aku mendengus.
"kenapa menarik dari jalan hidup, ya karena jalan hidup tiap orang beda-beda. Mungkin ada yang kita lihat lebih enak jalannya meskipun sering buat iri dengki juga tapi harus disyukuri."
Aku terdiam sejenak mencerna kalimatnya. Jawaban yang hampir sama dengan jawaban yang sebelumnya, tentang jalan hidup.
Jalan hidup, sesuatu yang benar-benar tak sepenuhnya berada dalam kendali kita sebagai manusia, tetapi setiap pilihan yang ada akan membawa suatu dampak yang cukup signifikan dalam hidup. Sekecil apapun itu. Manusia selalu menebak-nebak bagaimana kehidupannya akan berlangsung, hukum sebab akibat, tabur tuai tak selamanya berjalan sedemikia rupa. Misalnya tak semua yang berulah pada sebuah sebab akan menanggung sebuah akibat. Begitupula sebaliknya, ada beberapa akibat yang bahkan sebabnya tak tau muasalnya dari generasi mana harus ditanggungnya. Jalan hidup memang penuh misteri, tiada yang sama satu sama lain. Dan karena itulah hidup menjadi menarik karena apa yang berjalan di atasnya punya sesuatu yang kadang berjalan patuh pada sebuah aturan juga ada yang bebas tanpa sebuah ikatan. Manusia tak punya kemampuan menebaknya dengan paripurna, hanya mengandalkan setetes pengetahuan dan mulai mengembara, memulai tantangan menarik, menjalani hidup.
"Bagaimana, kau sudah menemukan jawabannya?"
Demi mendengar suara itu aku kembali menghembuskan nafas pelan, menggeleng.
"Apa jawaban yang kau terima belum dapat memberikan gambaran yang utuh?" tanyanya lagi
"Entahlah." Suaraku terdengar lemah.
***
"Menurutmu, apa yang paling menarik dari hidup ini?"
Aku kembali menggutarakan tanya untuk kesekian kalinya. Jawaban yang telah kuterima sebelumnya bukan berarti salah, karena pada akhirnya aku masih mencari jawaban yang lain. Hanya saja, aku menginginkan jawaban lebih banyak perihal sesuatu yang menarik menurut banyak orang. Tidak ada jawaban yang benar dan yang salah, bukan? Itu hanya soal perspektif. Dan aku belum menemukan perspektif mana yang akan kugunakan.
"Cinta, cinta yang membuat hidup ini menarik."
Aku manatapnya tak percaya, sungguh itukah yang dia pikirkan. Oh, wajarlah dia tengah kasmaran beberapa hari terakhir, maka jika itu jawabnya, aku juga tak dapat menyalahkan. Bagi para pecinta hidup tanpa cinta bagai taman tak bebunga, hampa. Boleh jadi ia akan kehilangan hidup jika tidak memiliki cinta, bucin kali. Aku mengeluh tertahan.
"Maksudku, bukan spesifik cinta pada lawan jenis seperti yang kau pikirkan," ujarnya sekilas lalu menatapku. Seolah dari mimik wajahnya ia mendengar keluhan tertahan milikku atas jawabannya.
"Kau membaca pikiranku?" tanyaku sanksi
"Tidak, hanya saja sorot matamu menjelaskan segalanya, kau seperti alergi mendengar kata cinta," godanya, aku mendengus memalingkan wajah. Bukankah memang begitu, kata-kata tentang cinta begitu menggelikan dan penuh bualan.
"Kau pernah berpikir apa jadinya jika kau tak dicintai oleh ibumu, ayahmu dan teman-temanmu? Menarikkah hidupmu? Atau bagaimana jika kau tak lagi memiliki rasa cinta pada mereka, kau malas melihat mereka, kau malas berinteraksi dengan mereka, hampa, bukan? Atau kau pernah terpikir, bagaimana jika kau hidup tak dicintai oleh Tuhanmu? Kau dibiarkan begitu saja, kau merintih, memohon tak dipedulikan. Kau pasti tau, bahkan dunia ini ada sebab cinta. Cinta sang pencipta pada ciptaannya."
"Hari-hari menjadi berwarna karena cinta. Manusia bahkan menjadi berlipat kali lebih semangat karena cinta. Kau lihat seorang lelaki yang kuat mengangkat beban yang lebih berat dari tubuhnya, apalagi jika itu bukan soal cinta. Cinta pada keluarganya, cinta pada anak-anaknya dan cinta pada kehidupan yang telah memberinya kesempatan untuk merasa bahagia dengan dicintai dan mencintai," imbuhnya panjang lebar.
Aku tau ia akan semangat sekali menjelaskan sudut pandangnya perihal cinta dengan kalimat paling bijak mengalahkan para filsuf. Karena ia tau aku adalah salah satu orang yang memandang sebelah mata perihal cinta. Sama seperti pandangan orang pada umumnya, cinta yang merusak, cinta yag bodoh dan segelintir perspektif negatif lainnya. Sudah banyak korban atas nama cinta di dunia ini.
"Jadi, bagaimana apa kau mempertimbangkan jawabanku. Kuharap sih begitu, cinta adalah tahta tertinggi dalam kamus hidup dan kehidupan. Cinta itu luas, janganlah kau persempit dengan pandangan sempitmu itu." Dia beranjak menepuk bahuku yang masih terdiam mencerna kalimatnya.
Aku akhirnya mengangguk, meski belum sepenuhnya setuju akan kalimatnya tapi pandangannya selalu bagus. Boleh jadi ia akan menjadi filsuf masa depan. Ucapan terimakasihku tak menerima balasan, dia telah melenggang pergi entah ke mana, kupikir ia akan menemui kekasihnya dan membual soal cinta, entahlah.
Tapi benar juga apa katanya. Hidupku yang dipenuhi cinta mungkin saja membuatu lupa bahwa tidak semua berkesemapatan memilikinya. Bagaimana jika cinta hilang dari muka bumi ini. seorang ibu yang kehilangan anak akan merasa dunia tak lagi menarik karena yang dicinta telah tiada. Begitujuga dengan anak yang ditinggalkan orangtuanya, kekasih yang ditinggalkan kekasihnya. Dan bukankah bayak buktinya orang yang mengakhiri hidup karena putus cinta. kehilangan cinta membuatnya tak tertarik lagi menjalani hidup. Temanku ada benarnya.
Aku menemui orang terakhir yang akan menerima mandat pertanyaan milikku, anggap saja begitu.
"Kau, pertanyaannmu selalu aneh dan perlu memeras otak untuk menjawabnya," keluhnya begitu aku mengeluarkan pertanyaan itu.
"Jawab saja," sergahku, aku juga kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Pemilik suara itu selalu saja mengajukan tanya yang sulit untuk kujawab seorang diri, dan aku membutuhkann bantuan untuk menjawabnya. Apa salahnya aku bertanya, jika ia tak dapat menemukan jawabannya lambaikan tangan saja, atau bilang pass. Namun, jelas sekali bukan itu hal yang ingin kudengar. Setidaknya beri aku jawaban untuk membuka labirin misteri akan sebuah jawaban untuk satu pertanyaan. Bukankah satu pertanyaan memiliki banyak jawaban.
"Baiklah, apa yang menurutku menarik dari hidup ini. Menurutku itu kamu." Dia menjawab, suaranya terdengar mantap dan tegas.
Aku reflek menoleh, mata kami bersitatap sejenak. Untuk kemudian jantungku mulai berdebar, nafasku memburu dan tanganku terangkat. "Kauuuu," desisku pelan.
"Loh, kan itu menurutku." Dia dengan gerakan cepat berdiri, menghindari serangan tanganku yang bersiap memukulnya. Dia tertawa pada akhirnya.
Jika saja kalimat itu diucapkan seseorang pada lawan jenisnya memang akan terdengar romantis, romantis sekali malah. Tapi itu sungguh terdengar menggelikan karena aku dan dia memiliki jenis yang sama. Bukankah itu jawaban yang kurang ajar. Aku melotot sanksi melihatnya yang tertawa terpingkal, lancar dia mengerjaiku.
Maka sampai saat ini aku masih memikirkan jawaban yang akan kuutarakan pada pemilik suara itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H