"Ini bahan baju untuk seragam keluarga, aku sungguh tahu bagaimana selera baju-bajumu tapi ya kali aku akan buat kaos oblong. Kau buat sendiri lah rancangannya sesuai yang seharusnya."
Kali ini aku ikut tergelak, benar juga. Aku memang lebih menyukai memakai kaos, dengan variasi bermacam-macam jaket sebagai luaran. Hanya untuk acara-acara tertentu aku memakai gaun, salah satunya adalah acara pernikahan.
"Bagaimana rasanya ketika cinta itu akhirnya terbalaskan, setelah semua yang kau lalui dia memutuskan untuk mencintai balik, menerima lamaran dan mau menikah dengan kau?" kali ini aku benar-benar kembali seperti dulu.
Kembali membuka tanya untuk mendengar lebih banyak dari apa yang ingin kau katakan, tentang apapun. Termasuk tentang perempuan itu. perempuan yang kau sukai. Perempuan yang kau perjuangkan bertahun-tahun terakhir.
"Kau coba lihat mataku, Ra. Karena mata adalah jendela hati, kau mungkin akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Kau tahu siapa aku lebih dari siapapun, aku tak pandai berkata-kata layaknya dia, juga tak pandai mengekspresikan diri lewat karya sepertimu. Yang pasti senang lah," jelas kau, memelototkan mata kearahku. Mungkin agar aku dapat melihat jelas apa yang akan dibiaskan oleh sorot itu.
"Dilihat-lihat sorot mata itu tak bahagia, heh."
Kau menarik diri, menghempaskan diri pada senderan kursi. " Itu karena hari ini aku bertemu dengan kau,.."
"Jadi kau tak suka bertemu denganku, mengapa minta bertemu? bisa saja kau titipkan undangan ini pada yang lain, heh," pungkasku
"Nah, nah kan, belom-belom sudah kena omel."
Aku mendengus
"Kau masih saja belum berubah, heh, tukang nyolot."