Latar Belakang
Keberadaan ruang publik di suatu masyarakat sangatlah penting sebagai suatu sarana untuk melepas kepenatan atas suatu aktifitas dalam ruang. Keberadaan ruang publik juga semakin diperlukan seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang meningkat, sehingga masyarakat semakin membutuhkan ruang terbuka untuk memenuhi kebutuhan mereka.Â
Ruang publik adalah suatu media untuk mengkomunikasikan informasi dan pandangan. Ruang publik juga dijadikan sebagai tempat masyarakat untuk saling bertemu, ngobrol, dan berdiskusi tenntang segala sesuatu (Jurgen Habermas). Oleh karena itu, ketersediaan ruang publik sangat diperlukan oleh masyarakat untuk melakukan proses komunikasi tersebut. Ruang publik yang ideal adalah sebuah area bebas milik bersama untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Akan tetapi, realitanya ruang publik kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan mereka pribadi. Ruang publik yang seharusnya terbuka secara bebas bagi masyarakat, kemudian dikuasai secara sepihak oleh oknum-oknum tersebut dmanfaatkan sebagai tempat untuk berniaga dengan sistem sewa lahan. Sistem tersebut kemudian ditawarkan kepada pedagang-pedagang kecil yang baru mulai merintis usahanya, seperti pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima pada awalnya merupakan sebutan bagi pedagang kecil yang berjualan dengan jarak lima kaki dari pelataran toko. Saat ini, pedagang kaki lima banyak ditemukan di beberapa titik ruang publik yang kemudian menimbulkan pro dan kontra atas keberadaannya.
Pembahasan
Pengalihfungsian ruang publik sudah sangat sering terjadi di lingkungan masyarakat, dan hal tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di pedesaan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri, sebagai salah satu kota besar yang terdapat di Indonesia, sudah tentu terjadi pengalihfungsian atas ruang publik tersebut, terutama pengalihfungsian ruang publik sebagai area berjualan bagi para PKL. Hal tersebut disebabkan karena DIY diposisikan sebagai salah satu daerah yang merupakan tujuan wisata dan pendidikan yang ada di Indonesia.
Pada satu posisi, keberadaan PKL akan tampak menguntungkan bagi wisatawan dan pelajar yang merantau ke Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan PKL mempermudah mereka untuk membeli barang dengan harga yang relatif terjangkau. Tidak hanya itu, keberadaan PKL sendiri dianggap sebagai pelengkap dari segala unsur kehidupan publik di kawasan perdagangan dan keberadaan PKL tersebut merupakan daya tarik sendiri yang dimiliki oleh kota Yogyakarta bagi wisatawan yang berkunjung.Â
Keberadaan PKL juga dianggap sebagai salah satu unsur pendukung bagi ekonomi mikro. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak memiliki dampak negatif, keberadaan PKL yang mengabil-alih ruang publik itu membuat aktifitas yang seharusnya terjadi di ruang publik tersebut menjadi terganggu. Sebagai contoh, PKL yang menggunakan area trotoar sebagai tempat untuk berjualan. Keberadaan PKL tersebut akan sangat mengganggu bagi pejalan kaki yang berjalan di area trotoar, pejalan kaki tersebut tidak bisa lewat apabila ada PKL di sana.Â
Akibatnya, si pejalan kaki harus turun dulu ke pinggir jalan sebelum naik lagi ke area trotoar. Mungkin bagi sebagian orang hal tersebut dianggap lumrah dengan alasan para pejalan kaki tersebut dapat mengalah dengan berjalan di tepian jalan, akan tetapi hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran hak bagi para pejalan kaki. Berjalan di tepi trotoar memberikan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki, tidak hanya itu, hal tersebut juga dapat membahayakan pejalan kaki apabila ada kendaraan bermotor yang melintas terlalu ke tepi, si pejalan kaki bisa saja terserimpit kendaraan bermotor tersebut. Terkadang, jumlah PKL yang terlalu banyak juga menimbulan kemacetan di area jalan dimana PKL itu berada.
Selain memberikan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki dan menimbulkan kemacetan, para PKL juga seringkali lalai dalam menjaga kerbersihan di area sekiter tempat mereka berjualan. Mereka meninggalkan sampah yang berasal dari barang dagangan mereka di area tersebut, hal tersebut kemudian akan membuat area tersebut terliah kotor memberinya kesan, dan lagi-lagi kenyamanan masyarakat terganggu.
Adanya pro dan kontra, keuntungan dan dampak negatif atas keberadaan PKL pada akhirnya memaksa pemerintah untuk membuat peraturan khusus mengenai PKL karena keberadaan PKL itu sendiri tidak mungkin untuk dihilangkan. PKL sekiranya perlu ditata agar dapat terus berjalan tanpa harus melanggar hak-hak milik masyarakat atas suatu ruang publik.
Peraturan mengenai PKL, terutama penjual makanan dan minuman, yang berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur oleh Peraturan Walikota Yogyakarta
No. 45 tahun 2007 dan peraturan Walikota Yogyakarta No. 62 tahun 2009 yaitu:
1.Ukuran lokasi usaha
a. Untuk lebar trotoar  1,5 m -3 m.
b. Untuk lebar trotoar >3 m,lebartempat usaha maksimal 2 m
2.Persyaratan untuk PKL makanan dan minuman:
a. Memasang daftar harga
b. Melampirkan surat keterangan laik sehat dari Dinas Kesehatan Yogyakarta, kecuali makanan dan minuman kemasan yang terdaftar di BPOM
c. PKL yang berlokasi di depan perguruan tinggi harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan perguruan tinggi menjalankan waktu usaha di malam hari dan mendukung sebagai wisata kuliner
3.Waktu kegiatan usaha:
a. Aktifitas PKL dibagi 2 katagori waktu, yakni antara pukul 06.00-18.00 dan pukul 18.00-04.00. setiap PKL menjalankan usaha pada salah satu waktu tersebut.
b. PKL yang berlokasi di depan toko, khususnya lesehan, hanya dapat menjalankan usaha pada pukul 21.00-04.00.
Petunjuk dalam peraturan Daerah kota Yogyakarta NO. 45 tahun 2002 tentang penataan pedagang kaki lima, menyebutkan bahwa tidak semua ruas jalan yang trotoarnya dapat di izinkan untuk lokasi usaha. Selain itu, PKL juga harus memenuhi syarat dengan membuat surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan lokasi usaha apabila Pemerintah Daerah akan mempergunakan area tersebut untuk kepentingan umum yang lebih luas tanpa syarat apapun.
Akan tetapi, pada kenyataannya mengatur PKL tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak PKL yang kemudian menganggap area diamana ia berjualan seolah-olah menjadi miliknya pribadi. Terkadang bahkan ada pula PKL yang menyewakan area tempat ia berjualan kepada orang lain agar mendapatkan keuntungan, dan ketika pemerintah hendak menggunakan area tersebut, PKL menolak untuk direlokasi. Ekonomi kemudian menjadi dalih bagi mereka untuk merampas hak masyarakat, spesifiknya pejalan kaki, atas ruang publik.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hannah Arendt dalam buku Politik Otentik oleh Agus Sudibyo menjelaskan bahwa mereka (masyarakat) memanfaatkan ruang publik untuk memproteksi properti mereka sendiri, untuk menjamin kebebasan mengakumulasi kekayaan yang lebih banyak lagi, ruang publik disini bukan lagi ruang solidaritas atau kebersamaan, melainkan ruang untuk melindungi kepemilikan pribadi dan proses akumulasi modal (Sudibyo, 2012:49).
Sejauh ini, PKL yang sudah terkelola dengan cukup baik hanya terdapat di kawasan Malioboro dan Alun-alun Kidul, selebihnya keberadan PKL masih belum tertata dengan baik dan masih banyak PKL yang tidak menaati peraturan.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik keimpulan bahwa keberadaan PKL di Yogyakarta sendiri memberikan cukup banyak keuntungan sebagai salah satu daya tarik wisata, selain itu keberadaan PKL juga memudahkan masyarakat untuk membeli suatu barang. Akan tetapi, pengalihfungsian ruang publik, dalam hal ini trotoar, yang dilakukan PKL memiliki dampak dengan memberikan rasa tidak nyaman kepada pejalan kaki.
Oleh sebab itu, peran pemerintah serta kesadaran masyarakat sangat diperlukan demi mengelola keberadaan para PKL tersebut karena PKL sendiri tidak mungkin untuk dihilangkan. Peraturan yang jelas mengenai PKL perlu ditegakkan agar dapat mengembalikan fungsi ruang publik sebagaimana mestinya.
Selain itu, perlu adanya pengawasan bagi para PKL terkait dengan sewa lahan yang dilakukan oleh mereka, dikarenakan hal tersebut merupakan penyalahgunaan ruang publik dan jelas-jelas merampas hak milik masyarakat atas ruang publik tersebut.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Puspitasari, Dirjani Eka. Mimbar Hukum: Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner Untuk Mewujudkan FungsiTata Ruang Kota Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 2010
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik. Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Bandung: Nuansa, 2008.
Sudibyo, Agus. Politik Otentik, Tangerang: Marjin Kiri, 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H