Adanya pro dan kontra, keuntungan dan dampak negatif atas keberadaan PKL pada akhirnya memaksa pemerintah untuk membuat peraturan khusus mengenai PKL karena keberadaan PKL itu sendiri tidak mungkin untuk dihilangkan. PKL sekiranya perlu ditata agar dapat terus berjalan tanpa harus melanggar hak-hak milik masyarakat atas suatu ruang publik.
Peraturan mengenai PKL, terutama penjual makanan dan minuman, yang berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur oleh Peraturan Walikota Yogyakarta
No. 45 tahun 2007 dan peraturan Walikota Yogyakarta No. 62 tahun 2009 yaitu:
1.Ukuran lokasi usaha
a. Untuk lebar trotoar  1,5 m -3 m.
b. Untuk lebar trotoar >3 m,lebartempat usaha maksimal 2 m
2.Persyaratan untuk PKL makanan dan minuman:
a. Memasang daftar harga
b. Melampirkan surat keterangan laik sehat dari Dinas Kesehatan Yogyakarta, kecuali makanan dan minuman kemasan yang terdaftar di BPOM
c. PKL yang berlokasi di depan perguruan tinggi harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan perguruan tinggi menjalankan waktu usaha di malam hari dan mendukung sebagai wisata kuliner
3.Waktu kegiatan usaha:
a. Aktifitas PKL dibagi 2 katagori waktu, yakni antara pukul 06.00-18.00 dan pukul 18.00-04.00. setiap PKL menjalankan usaha pada salah satu waktu tersebut.
b. PKL yang berlokasi di depan toko, khususnya lesehan, hanya dapat menjalankan usaha pada pukul 21.00-04.00.
Petunjuk dalam peraturan Daerah kota Yogyakarta NO. 45 tahun 2002 tentang penataan pedagang kaki lima, menyebutkan bahwa tidak semua ruas jalan yang trotoarnya dapat di izinkan untuk lokasi usaha. Selain itu, PKL juga harus memenuhi syarat dengan membuat surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan lokasi usaha apabila Pemerintah Daerah akan mempergunakan area tersebut untuk kepentingan umum yang lebih luas tanpa syarat apapun.
Akan tetapi, pada kenyataannya mengatur PKL tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak PKL yang kemudian menganggap area diamana ia berjualan seolah-olah menjadi miliknya pribadi. Terkadang bahkan ada pula PKL yang menyewakan area tempat ia berjualan kepada orang lain agar mendapatkan keuntungan, dan ketika pemerintah hendak menggunakan area tersebut, PKL menolak untuk direlokasi. Ekonomi kemudian menjadi dalih bagi mereka untuk merampas hak masyarakat, spesifiknya pejalan kaki, atas ruang publik.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hannah Arendt dalam buku Politik Otentik oleh Agus Sudibyo menjelaskan bahwa mereka (masyarakat) memanfaatkan ruang publik untuk memproteksi properti mereka sendiri, untuk menjamin kebebasan mengakumulasi kekayaan yang lebih banyak lagi, ruang publik disini bukan lagi ruang solidaritas atau kebersamaan, melainkan ruang untuk melindungi kepemilikan pribadi dan proses akumulasi modal (Sudibyo, 2012:49).
Sejauh ini, PKL yang sudah terkelola dengan cukup baik hanya terdapat di kawasan Malioboro dan Alun-alun Kidul, selebihnya keberadan PKL masih belum tertata dengan baik dan masih banyak PKL yang tidak menaati peraturan.
Kesimpulan