Mohon tunggu...
Lulu Aufia Hasanah
Lulu Aufia Hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Ibn Khaldun Bogor

Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoaks dan Informasi Viral: Apa Kata Teori Komunikasi?

18 Januari 2025   18:41 Diperbarui: 19 Januari 2025   14:18 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah derasnya arus informasi di era digital, masyarakat Indonesia kerap dihadapkan dengan berita berita viral di media sosial. Tak jarang juga, informasi informasi tersebut bersifat menyesatkan dan tidak dapat dipercaya atau bahkan termasuk dalam kategori hoaks. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga Mei 2023, telah temukan sebanyak 11.642 konten hoaks, dengan konten kesehatan menjadi konten terbanyak yang mengandung hoaks yang mencapai 2.287 konten. Survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kominfo pada tahun 2021 juga menunjukkan bahwa 11,9% responden mengakui pernah menyebarkan berita hoaks. Tidak hanya itu, menurut temuan survei Katadata Insight Center (KIC) Bersama Kominfo serta SiBerkreasi pada tahun 2020 bahwa orang Indonesia yang terkena hoaks saat mengakses dan berkomunikasi di dunia maya antara 30% hingga hampir 60%, sementara 21% hingga 36% mampu mengenali hoaks.

https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/siaran-pers-no-150-hm-kominfo-07-2023-tentang-juni-2023-kominfo-identifikasi-117-konten-hoaks
https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/siaran-pers-no-150-hm-kominfo-07-2023-tentang-juni-2023-kominfo-identifikasi-117-konten-hoaks

Dengan adanya ini menunjukkan bahwa media sosial menjadi tempat yang paling rawan untuk penyebaran informasi palsu atau hoaks. Menurut penelitian Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), seorang ahli komunikasi, media sosial menjadi media penyebaran hoaks terbanyak, dengan aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line, dan Telegram menyumbang 62,8% dari penyebaran tersebut. Guru Besar Hukum Siber dari Universitas Malaya, Abubakar Munir, mengatakan bahwa penyebaran berita bohong melalui media sosial dapat menimbulkan dampak negatif dan berkelanjutan bagi seseorang, termasuk memengaruhi pola pikir masyarakat dan stabilitas serta kepercayaan sosial. Dalam kasus teori komunikasi ini, Terkhusus teori Agenda-setting dan model-model komunikasi, memiliki peran penting yang harus di pelajari atau setidaknya di ketahui oleh masyarakat agar terhindar dari hoaks  serta membentuk pola pikir kritis.

Teori Agenda-Setting: Peran Media dalam Menentukan Fokus Publik

Di jelaskan dalam Teori Agenda-setting bahwa media memiliki kemampuan untuk memengaruhi pola pikir masyarakat terhadap topik apa yang dianggap penting oleh publik. Sering kali hal-hal viral di media sosial merupakan buatan dari artis-artis atau public figure yang memiliki banyak pengikut. Misalnya, kasus berita palsu tentang kebijakan seorang pemimpin dapat dengan cepat menyebar karena diberitakan oleh akun-akun besar sebelum fakta diverifikasi. Sering kali juga masyarakat salah mengira opini yang di jelaskan oleh seseorang sebagai fakta nyata.

Di Indonesia, banyak berita viral muncul tanpa adanya klarifikasi awal dari sumber yang kredibel. Contohnya adalah fenomena klaim yang tidak didukung oleh fakta, namun ramai dibagikan karena faktor emosional dan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh atau publik figure tertentu.

Proses Penyebaran Hoaks

Model komunikasi linear yang diperkenalkan oleh Shannon dan Weaver menunjukkan bahwa pesan yang diterima penerima (receiver) sering kali dipengaruhi oleh gangguan atau "noise". Dalam konteks berita viral, noise ini bisa berupa informasi palsu, prasangka individu, atau pandangan yang keliru. Proses ini diperburuk oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk mempromosikan konten berdasarkan tingkat interaksi, bukan kebenaran informasi. Dengan buruknya algoritma tersebut membuat hoaks di media sosial telah menjadi fenomena yang sangat memprihatinkan, dengan dampak signifikan terhadap masyarakat. Menurut survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), media sosial merupakan sumber utama penyebaran hoaks, dengan 92,4% hoaks tersebar melalui platform ini.

Model komunikasi interaksional juga relevan dalam menjelaskan bagaimana hoaks berkembang. Dalam model ini, komunikasi terjadi dua arah, di mana feedback dari audiens dapat memperkuat pesan. Ketika pengguna media sosial membagikan informasi tanpa verifikasi, mereka secara tidak langsung memperkuat penyebaran hoaks.

Kasus Viral dan Hoaks: "Presiden Prabowo Seragamkan Gaji DPR dan MPR dengan PNS"

Klaim bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menyamakan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu contoh nyata dari hoaks yang menjadi viral baru-baru ini. Informasi ini menyebar dengan cepat di berbagai platform media sosial, menyebabkan perdebatan dan diskusi sengit di masyarakat. Pesan ini beredar dalam hitungan jam melalui platform populer seperti WhatsApp, Instagram, dan TikTok, memanfaatkan bentuk pesan berantai untuk menjangkau lebih banyak orang.

Meskipun demikian, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan tegas menolak pernyataan tersebut. Menurut Kominfo, tidak ada kebijakan atau pernyataan resmi dari pemerintah terkait masalah ini. Menurut pernyataan ini, informasi tersebut adalah hoaks yang dimaksudkan untuk menyesatkan masyarakat.

Mengapa Hoaks Ini Cepat Viral?

Karena menyentuh masalah sensitif seperti keadilan sosial dan pengelolaan anggaran negara, hoaks ini menarik perhatian publik. Orang sering mengalami respons emosional seperti kemarahan, kekecewaan, atau bahkan ketakutan karena topik-topik ini, yang pada akhirnya mendorong orang untuk berbagi informasi tanpa memverifikasi kebenarannya. Selain itu, hoaks yang menyangkut isu-isu yang "sejuta umat", seperti olahraga (terutama sepak bola), keagamaan, atau selebritas, cenderung mendapatkan perhatian lebih besar. Informasi semacam ini sering kali dikemas dengan cara yang memancing emosi, sehingga lebih mudah menyebar di masyarakat.

Kasus ini juga menunjukkan bagaimana faktor psikologis dan sosial saling berinteraksi dalam mendukung penyebaran hoaks. Dari sudut pandang psikologi, emosi negatif seperti kemarahan atau ketidakpuasan terhadap pemerintah sering kali menjadi pemicu utama. Ketika hoaks menyentuh isu-isu yang relevan dengan ketidakpuasan tersebut, orang lebih cenderung untuk mempercayai dan menyebarkan informasi itu. Dari sisi sosial, pengaruh public figure atau tokoh terkenal juga memainkan peran signifikan. Ketika sebuah klaim dibagikan oleh seseorang yang memiliki banyak pengikut atau dianggap memiliki kredibilitas (kepercayaan), orang lain lebih mungkin untuk menerima klaim tersebut tanpa mempertanyakan kebenarannya.

Dalam teori Uses and Gratifications (U&G), individu secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu, baik kebutuhan emosional maupun sosial. Dalam konteks ini, pengguna media sosial yang membagikan hoaks mungkin melakukannya untuk alasan berikut:

1. Interaksi Sosial

Media sosial memberikan ruang untuk memperluas jaringan pertemanan dan mempertahankan hubungan. Dengan membagikan konten, pengguna merasa lebih terhubung dengan komunitas daring mereka.

2. Hiburan

Banyak orang menggunakan media sosial sebagai cara untuk menghibur diri. Konten yang menarik, baik benar maupun palsu, sering kali menjadi sarana hiburan yang ringan dan menghibur.

3. Pencarian Informasi

Sebagian pengguna menganggap media sosial sebagai sumber utama untuk mendapatkan berita dan informasi terkini. Sayangnya, tanpa kemampuan verifikasi yang memadai, informasi palsu sering kali dianggap sebagai fakta.

4. Ekspresi Diri

Media sosial memungkinkan individu untuk mengekspresikan pandangan, opini, dan kreativitas mereka. Dalam konteks hoaks ini, membagikan informasi tersebut dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi pribadi, meskipun informasi itu tidak akurat.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa masyarakat perlu meningkatkan literasi digital mereka untuk dapat memilah informasi yang benar dari yang salah. Dengan memahami bagaimana media sosial bekerja, serta dampak dari menyebarkan informasi palsu, pengguna dapat lebih berhati-hati dalam menyikapi berita yang viral. Selain itu, langkah-langkah seperti edukasi publik dan penguatan regulasi terhadap penyebaran hoaks perlu terus ditingkatkan untuk melindungi stabilitas sosial dan politik.

Cara Menghadapi Informasi Viral dan Hoaks

Untuk menghadapi fenomena ini, penting bagi masyarakat untuk menerapkan prinsip berpikir kritis yang didukung oleh teori komunikasi. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

1. Verifikasi Sumber Informasi

       Pastikan informasi yang anda dapatkan berasal dari sumber terpercaya, seperti situs berita resmi dari lembaga pemerintah, atau sumber yang berasal dari pakar atau ahli yang kredibel. Selalu periksa keabsahan informasi dengan mencari fakta pendukung dari sumber independen lainnya.

2. Baca Pesan dengan Cermat

       Jangan terburu-buru menyebarkan informasi yang anda dapatkan. Perhatikan siapa pengirim pesan, tujuan pesan, dan apa maksud dari pesan tersebut disampaikan. Dengan cara ini dapat membantu anda dan orang lain menghindari penyebaran informasi yang menyesatkan.

3. Pahami Proses Penyebaran Informasi

       Informasi viral sering kali tersebar cepat karena algoritma media sosial memprioritaskan konten dengan interaksi tinggi, bukan berdasarkan validitasnya. Bantulah teman anda dan perkaya informasi anda terkait algoritma tersebut. Karena dengan mengetahui cara kerja algoritma, dapat membantu anda untuk lebih waspada terhadap konten viral.

4. Edukasi Diri dan Orang Lain

       Pengetahuan adalah kunci untuk melawan hoaks. Bagikan informasi kepada keluarga, teman, dan komunitas tentang cara mengenali berita palsu. Edukasi ini mencakup mengenali judul clickbait (umpan klik), memeriksa tanggal publikasi, dan mencari konfirmasi dari sumber lain. Kampanye kesadaran digital di tingkat komunitas dapat menjadi langkah strategis untuk memberantas penyebaran hoaks secara kolektif (kelompok).

5. Laporkan Konten Hoaks

       Banyak platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter memiliki fitur untuk melaporkan konten yang mengandung informasi palsu atau menyesatkan. Menggunakan fitur ini tidak hanya menghentikan penyebaran informasi palsu tetapi juga membantu platform mengambil tindakan yang tepat terhadap penyebar hoaks.

6. Tingkatkan Literasi Digital

       Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Selain memahami cara kerja media sosial, masyarakat juga perlu belajar tentang keamanan data, privasi online, dan cara mengidentifikasi situs web palsu. Literasi ini membantu individu untuk lebih kritis dalam memilah informasi di era digital.

7. Ikuti Informasi dari Sumber Resmi

       Selalu andalkan informasi dari sumber terpercaya seperti situs resmi pemerintah, media kredibel, atau organisasi yang memiliki reputasi baik. Hindari mempercayai berita yang hanya tersebar melalui pesan berantai tanpa referensi yang jelas. Ketergantungan pada sumber resmi membantu membangun kepercayaan terhadap informasi yang diterima.

8. Gunakan Pendekatan Komunikasi yang Positif

       Saat membahas informasi viral atau hoaks dengan orang lain, gunakan pendekatan komunikasi yang tidak menghakimi. Hal ini penting untuk membangun diskusi yang produktif tanpa memicu konflik. Pendekatan ini dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang bahaya hoaks tanpa membuat orang merasa disudutkan.

9. Libatkan Komunitas untuk Melawan Hoaks

       Kolaborasi dalam komunitas digital dapat menjadi kekuatan besar dalam melawan hoaks. Bergabunglah dengan inisiatif lokal atau nasional yang bertujuan untuk memerangi informasi palsu. Keterlibatan masyarakat dalam gerakan kolektif ini dapat menciptakan dampak yang lebih luas dalam membangun ekosistem informasi yang sehat.

Dengan mengambil langkah-langkah di atas, masyarakat dapat lebih siap menghadapi tantangan era digital yang penuh dengan informasi viral dan hoaks. Selain melindungi diri, tindakan ini juga berkontribusi pada terciptanya lingkungan digital yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan ekosistem informasi yang aman dan terpercaya.

Kesimpulan

Fenomena viral dan hoaks di media sosial merupakan tantangan besar bagi masyarakat modern, termasuk di Indonesia. Dengan memahami teori komunikasi seperti Agenda-setting, proses komunikasi, dan model komunikasi lainnya, kita dapat lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar. Sikap kritis ini tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga membantu menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Dengan dukungan literasi digital, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan platform digital menjadi langkah penting untuk memerangi hoaks secara efektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun