Mohon tunggu...
Lula Roehanatu Zahro
Lula Roehanatu Zahro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STAI Al-Anwar

Mahasiswi STAI Al-Anwar Sarang Rembang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penggusuran Rumah Secara Paksa

7 Juli 2024   11:10 Diperbarui: 7 Juli 2024   11:22 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENGGUSURAN RUMAH SECARA PAKSA

Hingga saat ini, penggusuran rumah secara paksa masih terjadi di mana-mana, terutama di kota-kota besar. Tujuan penggusuran tanah ini biasanya dilakukan untuk pembangunan jalan tol, rel kereta, hingga pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan lain-lain. Akan tetapi penggusuran paksa ini kerap menjadi bahan perbincangan, karena penggusuran dianggap dengan suatu hal yang negatif dan identik dengan tindakan pemaksaan, pengusiran, konflik, dan keributan.

Penggusuran hampir selalu meningkat pada periode pertumbuhan ekonomi dan menurun pada periode resesi. Seperti contoh DKI Jakarta; DKI Jakarta merupakan wilayah yang mengalami perkembangan ekonomi pesat, namun pada saat yang sama juga menimbulkan banyak korban penggusuran paksa, sehingga menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan berskala besar. 

Faktanya, jika mencermati pengusuran, kita menemukan bahwa dampak negatif dari pengususuran lebih besar dibandingkan manfaatnya. Penggusuran cenderung menciptakan kemiskinan, bukan mengentaskannya. Penggusuran juga menciptakan masalah kemiskinan yang lebih besar (Uke Nindya, 2011: 2).

Pembangunan yang ditujukan pada pertumbuhan ekonomi cenderung terfokus pada pembangunan di bidang fisik, yang tentu saja terkait dengan permasalahan keterbatasan ruang kota. 

Mengenai pembangunan perkotaan Poerbo Hasan mengatakan: "Di perkotaan, analisis pembangunan selalu terfokus pada pembangunan ekonomi wilayaah yang terkait dengan aspek sumber daya fisik dan ekonomi". Oleh karena itu, proyek-proyek pembangunan terkait dengan permasalahan pertanahan, maka permasalahan pertanahan menjadi sangat penting.

Speno (dalam Uke Nindya, 2011: 7) memberi contoh pada makalah penelitian; Pemerintah pusat dan daerah selalu mempertimbangkan ketersediaan ketika mengembangkan sektor industri dan perumahan untuk meningkatkan potensi ekonomi daerah dan memenuhi kebutuhan penghidupan penduduk. Oleh karena itu, keterbatasan ruang di perkotaan menjadi alasan utama terjadinya penggusuran di perkotaan.

Seperti penjelasan di atas, pemerintah pusat dan pemerintah kota seringkali mengizinkan penggusuran, membersihkan pemukiman ilegal dari tanah negara dan swasta saat membangun proyek infastruktur untuk membangun jalan baru, jaringan listrik, pasokan air, dan segala hal yang dibutuhkan kota. Namun, semakin banyak penggusuran yang dilakukan atas nama pembangunan komersial swasta, seperti pusat perbelanjaan, lapangan golf, bioskop, dan perumahan mewah, yang tidak didasarkan pada kepentingan umum.

Dalam beberapa peristiwa ini, kasus penggusuran yang terjadi masih meninggalkan trauma bagi mereka yang tinggal di sektor-sektor informal kota. Hal ini disebabkan penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi warga, paksaan, kehancuran, kerugian harta benda pribadi, ketidakpastian untuk mendapatkan tempat tinggal lagi dan kehilangan pekerjaan yang ditekuni adalah beberapa dampak dari penggusuran tersebut.

Menurut hemat kami, tindakan tersebut termasuk pada penggusuran paksa yang mana dapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam UUD pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin. Mereka mempunyai hak untuk hidup dalam kondisi hidup yang baik dan sehat serta menerima pelayanan kesehatan. 

Hal ini juga dikuatkan dalam Resolusi Komite Hak Asasi Manusia 1993/77, yang bahkan menyatakan bahwa penggusuran paksa merupakan "gross violation of human rights" yang berarti pelanggaran HAM berat.

Adapun Langkah hukum terhadap penggusuran ini bisa dilihat dari beberapa aspek. Apabila penggusuran yang dimaksud dilakukan untuk kepentingan pengadaan tanah untuk pembangunan, maka penggusuran tersebut harus tunduk pada UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pebangunan untuk kepentingan umum. Yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kompensasi tersebut dapat berupa uang, alternatif lokasi, relokasi, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Sayangnya, UU 2/2012 tidak mengatur secara spesifik sanksi yang bisa menjerat pemerintah jika tidak mematuhi ketentuan UU tersebut. Hal ini memungkinkan untuk mereka yang terkena dampak untuk menuntut pemerintah secara perdata atas tindakan ilegal. 

Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang meyatakan bahwa "setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut" (Sigar Aji. 2019. Hukum online.com, 21 November 2019).

Tetapi, masih banyak oknum-oknum yang tidak mengganti kerugian tersebut, seperti yang dialami oleh Sumiyati dan keluarganya. Sumiyati mengalami penggusuran rumah sebanyak dua kali. Penggusuran pertama dilakukan oleh pihak kereta api, karena terletak pada tanah rel kereta, dan pihak kereta memberikan ganti rugi senilai puluhan juta. 

Hasil dari ganti rugi tersebut dibangunkannya lagi sebuah rumah tepat di belakang rumahnya. Beberapa bulan kemudian mereka mendapat surat penggusuran dari pemerintah, karena rumah yang mereka bangun berada di tanah pemerintah. Namun, pemerintah tidak memberikan biaya ganti rugi seperti yang dilakukan oleh pihak rel kereta (Sumiyati, komunikasi pribadi, 10 juni 2024).

Dari cerita di atas, hukum positif Indonesia perlu mengatur penggusuran secara lebih teknis demi terhindarnya penghilangan hak-hak dasar korban penggusuran, penyalahgunaan kewenangan aparat penggusuran dan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian lainnya, hal ini harus dilakukan demi tercapainya tujuan yang baik dari penggusuran. 

Dari segi praktik, perlunya peningkatan pengawasan dan pelaksanaan akan perundang-undangan mengenai penggusuran, serta diperlukannya sanksi yang tegas bagi pihak-pihak manapun yang terbukti melanggar hak-hak korban penggusuran paksa, termasuk aparat pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun